Rocky Gerung: Gajah, Hutan, dan Rakyat Jadi Korban Oligarki Era Jokowi

R24/zura
Rocky Gerung: Gajah, Hutan, dan Rakyat Jadi Korban Oligarki Era Jokowi.
Rocky Gerung: Gajah, Hutan, dan Rakyat Jadi Korban Oligarki Era Jokowi.

RIAU24.COM - Pengamat politik Rocky Gerung menyoroti secara tajam kerusakan kawasan konservasi Tesso Nilo di Riau yang disebutnya sebagai akibat langsung dari dominasi oligarki selama satu dekade terakhir pemerintahan Presiden Joko Widodo. 

Menurut Rocky, yang baru saja melakukan kunjungan lapangan ke Riau, bukan hanya manusia yang terdampak dari perusakan hutan, melainkan juga satwa liar seperti gajah yang kehilangan habitatnya dan kini menjadi simbol dari krisis ekologi yang lebih besar.

Dalam pernyataan terbarunya melalui kanal Rocky Gerung Official, ia menyampaikan bahwa dalam tiga hari terakhir dirinya melakukan observasi dan dialog langsung di lapangan, termasuk bertemu dengan warga, petani, Kapolda Riau, hingga Gubernur Riau.

“Saya minta maaf karena beberapa hari absen dari FNN, karena saya ada di hutan, di Tesso Nilo. Kami melihat langsung bagaimana kawasan konservasi ini dirusak oleh tangan-tangan pemodal besar,” ujar Rocky dalam video berdurasi lebih dari 13 menit.

Kawasan Konservasi yang Terancam

Tesso Nilo merupakan salah satu kawasan konservasi penting di Indonesia yang telah lama mengalami tekanan akibat ekspansi ilegal industri kelapa sawit dan pemukiman liar. Meski pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk memulihkan fungsi kawasan tersebut, situasi di lapangan memperlihatkan kondisi yang justru semakin kompleks.

Rocky menyatakan bahwa sebagian besar kawasan Tesso Nilo kini telah dikuasai secara ilegal oleh jaringan pemodal yang memanfaatkan rakyat kecil sebagai tameng legalitas.

“Banyak pemukiman di sana hanyalah bumper. Rakyat ditempatkan di garis depan untuk melegalkan penguasaan lahan oleh oligarki,” jelasnya.

Menurut Rocky, upaya Presiden Prabowo Subianto untuk membentuk satuan tugas pengambilalihan aset negara di kawasan hutan seperti Tesso Nilo merupakan langkah penting. Namun, ia juga mengingatkan bahwa kebijakan tersebut harus disertai mitigasi sosial dan pendekatan lokal yang sensitif terhadap kondisi warga.

Gajah Jadi Korban yang Tak Bisa Berteriak

Salah satu isu yang paling disoroti Rocky adalah nasib dua anak gajah bernama Domang dan Terra yang kini kehilangan habitat akibat kerusakan hutan. Ia memuji langkah simbolik Kapolda Riau Irjen Pol Heri Heriawan yang mengangkat kedua gajah tersebut sebagai anak angkatnya.

“Pak Kapolda mewakili suara gajah yang tak bisa berdebat dengan oligarki. Ia menegaskan bahwa gajah juga punya hak untuk dilindungi,” ujar Rocky.

Menurutnya, tindakan tersebut bukan sekadar aksi simbolik, tetapi bagian dari narasi baru dalam politik lingkungan: menjadikan makhluk non-manusia sebagai subjek etis dalam diskursus kebijakan publik.

Paradigma Baru: Green Policing dan Ekosipasi

Kapolda Riau Irjen Pol Heri Heriawan juga memperkenalkan konsep Green Policing, yaitu pendekatan kepolisian yang menempatkan perlindungan lingkungan sebagai bagian dari tugas dan tanggung jawab institusional.

Rocky menyambut baik gagasan tersebut, bahkan menyebutnya sebagai potensi model kebijakan nasional yang perlu direplikasi di daerah lain.

“Krisis lingkungan dapat dengan cepat menjadi krisis sosial, dan dari situ berubah menjadi krisis politik. Polisi harus ada di garis depan menjaga ekosistem,” katanya.

Dalam konteks ini, Rocky juga memperkenalkan istilah ekosipasi, sebuah konsep yang menurutnya dikembangkan oleh sosiolog Dr. Robertus Robet, yang menggambarkan partisipasi ekologis dari makhluk hidup non-manusia.

“Ekosipasi menolak cara pandang antroposentrisme. Bahkan gajah pun harus diakui haknya untuk menyelamatkan lingkungannya,” ucapnya.

Konsep ini, menurut Rocky, seharusnya menjadi tata bahasa politik baru di Indonesia—di mana manusia tak lagi diposisikan sebagai penguasa mutlak atas alam, melainkan sebagai bagian dari ekosistem yang saling terhubung.

Kritik Tajam ke Era Jokowi: “Sistem Kehutanan Kacau”

Rocky tidak ragu menyampaikan kritik keras terhadap warisan kebijakan lingkungan di bawah Presiden Jokowi. Ia menyebut sepuluh tahun terakhir sebagai periode kekacauan sistemik yang membuka ruang besar bagi dominasi modal dalam penguasaan hutan dan perusakan ekosistem.

“Kita menyebut secara terang bahwa di era Pak Jokowi, sistem perhutanan kita kacau balau. Negara gagal menahan laju ekspansi oligarki,” ujarnya.

Ia juga menyinggung bahwa sensasi-sensasi lingkungan yang muncul selama ini hanya sebatas pencitraan, tanpa ada transformasi etis yang menyeluruh dalam tata kelola sumber daya alam.

“Kalau kita ke forum dunia, kita akan ditanya: Do you speak environmental ethics? Bukan cuma bicara hilirisasi, tapi etika lingkungan juga penting,” katanya.

Dari Eksportir Asap Menuju Eksportir Akal Sehat?

Riau, selama bertahun-tahun, dikenal secara internasional sebagai pusat kebakaran hutan dan penghasil kabut asap lintas batas yang berdampak hingga ke negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura. Namun, Rocky menyatakan ada harapan baru untuk membalik narasi ini, dimulai dari pendekatan green policing dan kesadaran ekologis yang semakin berkembang.

“Dulu kita diejek sebagai eksportir asap. Tapi sekarang kita mulai menanam pohon, memulihkan hutan, dan—mudah-mudahan—mengekspor oksigen dan akal sehat,” ujarnya.

Rocky pun menutup pesannya dengan seruan agar masyarakat Indonesia membangun kesadaran baru bahwa perlindungan lingkungan bukan hanya isu teknis atau kebijakan sektoral, tapi soal keadilan generasi dan keberlangsungan hidup bersama.

“Apa bedanya jenazah oligarki dengan bangkai gajah? Sama-sama jadi mineral. Jadi kita harus sadar, kita ini bagian dari ekosistem, bukan pemilik tunggal,” pungkasnya.

(***)
 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak