RIAU24.COM - Sebuah studi terbaru yang dilakukan oleh peneliti Massachusetts Institute of Technology (MIT) Lab menemukan, adanya kaitan penggunaan ChatGPT pada penurunan kemampuan otak berpikir kritis. Studi ini melibatkan 54 subjek berusia 18-39 tahun yang diminta untuk mengerjakan esai.
Mereka dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu menggunakan bantuan ChatGPT, menggunakan bantuan Google Search, dan tanpa alat bantu sama sekali. Berdasarkan hasil pemeriksaan menggunakan alat elektroensefalogram (EEG), peneliti menemukan, kelompok pengguna ChatGPT menunjukkan tingkat keterlibatan otak yang paling rendah.
responden yang menggunakan ChatGPT juga secara konsisten tampil lebih buruk dalam aspek neurologis, linguistik, dan perilaku. Selama beberapa bulan periode penelitian, pengguna ChatGPT juga semakin malas di setiap esai berikutnya dan pada akhirnya hanya copy-paste jawaban di akhir studi.
Hal ini menunjukkan pemanfaatan sistem large language model (LLM) dari artificial intelligence (AI) dapat merugikan proses belajar, khususnya pengguna yang lebih muda.
"Otak yang sedang berkembang adalah yang paling berisiko," kata penulis utama penelitian Nataliya Kosmyna dikutip dari Time, Kamis (19/6/2025).
Nataliya ingin secara khusus mengeksplorasi dampak penggunaan AI untuk tugas-tugas sekolah, karena semakin banyak pelajar yang menggunakannya.
Kelompok yang mengerjakan tes menggunakan ChatGPT menghasilkan esai yang sangat mirip. Esai yang dihasilkan juga kurang memiliki pemikiran orisinal, mengandalkan ekspresi, dan ide yang sama.
Pada penulisan esai ketiga, banyak subjek langsung memasukkan prompt ke dalam ChatGPT dan membiarkan alat itu menyelesaikan hampir seluruh tugas.
"Pendekatannya menjadi lebih seperti, 'Berikan saya esainya, perbaiki kalimat ini, edit sedikit, selesai'," kata Kosmyna.
Kelompok yang mengerjakan esai tanpa alat bantu menunjukkan konektivitas otak tertinggi, khususnya pada gelombang alfa, theta, dan delta yang diasosiasikan dengan kreativitas, beban memori, dan pemrosesan semantik. Peneliti menemukan kelompok ini lebih terlibat, lebih ingin tahu, dan merasa lebih puas dengan esai yang dihasilkan.
Sedangkan pada kelompok yang menggunakan Google Search, juga menunjukkan kepuasan tinggi, dan aktivitas otak yang aktif. Perbedaan ini penting, karena kini banyak orang mencari informasi lewat chatbot AI daripada mesin pencari seperti Google.
Setelah melakukan 3 kali tes, mereka diminta menuliskan ulang salah satu esai yang sudah dibuat. Tapi, kali ini kelompok pengguna ChatGPT harus melakukannya tanpa alat bantu, sedangkan kelompok yang sebelumnya hanya menggunakan otak diperbolehkan memakai ChatGPT.
Kelompok pertama hampir tidak mengingat apa-apa dari esai mereka sendiri. Pemeriksaan EEG juga memperlihatkan gelombang otak alfa dan theta yang lebih lemah. Ini menunjukkan proses memori yang mendalam telah terlewat.
"(Pengguna AI) tugasnya memang selesai, dan bisa dibilang efisien. Tapi seperti yang sudah ditunjukkan, Anda tidak benar-benar mengintegrasikan apapun ke dalam jaringan memori otak," sambungnya.
Kelompok kedua justru menunjukkan performa yang baik dan peningkatan signifikan pada konektivitas otak di seluruh frekuensi EEG. Penelitian ini menunjukkan adanya jika AI digunakan dengan benar, maka ini bisa meningkatkan pembelajaran. ***