RIAU24.COM -Pertemuan dua tokoh nasional lintas latar belakang, Rocky Gerung dan Ustaz Abdul Somad (UAS), menjadi sorotan dalam Dialog Lingkungan Hidup yang digelar Polda Riau di Desa Tanjung Belit, Kecamatan Kampar Kiri Hulu, Kabupaten Kampar, Kamis (18/6).
Di tepian Sungai Subayang yang asri, keduanya menyuarakan satu pesan senada: penyelamatan lingkungan adalah tanggung jawab kolektif bangsa.
Kegiatan yang diinisiasi Polda Riau ini turut dihadiri Wakapolda Riau Brigjen Pol Adeianto Jossy Kusumo, Gubernur Riau Abdul Wahid, unsur Forkopimda Riau dan Kampar, serta ratusan warga yang memadati lokasi acara.
Meski berasal dari latar belakang berbeda — Rocky dari dunia filsafat dan intelektual publik, UAS dari khazanah keilmuan Islam — keduanya menghadirkan perspektif saling melengkapi dalam memandang isu krisis ekologis yang semakin mendesak.
Rocky Gerung menegaskan pentingnya melihat alam bukan semata objek eksploitasi, melainkan sebagai entitas yang memiliki hak eksistensial.
“Cacing, burung, rumput, semua makhluk juga punya hak untuk tetap ada,” ujar Rocky.
Ia menilai degradasi lingkungan sebagai bentuk kelalaian kolektif manusia dalam membaca ‘teks alam’ sebagai pesan moral dan spiritual.
Sementara itu, UAS mengajak hadirin untuk menempatkan alam dalam dimensi spiritual.
Ia mengingatkan bahwa pohon, hewan, dan seluruh ekosistem adalah makhluk Allah yang turut bertasbih.
“Kalau kita yakin pohon itu bertasbih, kita pasti berpikir dua kali sebelum menebang sembarangan,” ucapnya.
Menurut UAS, menjaga lingkungan adalah bagian dari ibadah, bukan sekadar etika sosial.
Dialog ini juga menjadi ajang penegasan komitmen konkret Polda Riau dalam agenda perlindungan lingkungan.
Sejumlah inisiatif dipaparkan, mulai dari program reboisasi kawasan hutan, pemulihan ekosistem Taman Nasional Tesso Nilo, hingga pelatihan internal kepolisian untuk membangun sensitivitas ekologis di kalangan aparat.
Konsep “hijrah ekologis” pun diperkenalkan — sebuah transformasi paradigma dari sekadar penegakan hukum ke arah peran sebagai penjaga kelestarian alam.
Di akhir sesi, satu pesan mengemuka sebagai simpulan bersama: menjaga bumi bukanlah opsi, melainkan kewajiban moral, spiritual, dan konstitusional.
Ketika filsuf menyuarakan hak hidup burung, dan ulama mengingatkan bahwa pohon ikut berzikir, maka saatnya manusia menempatkan diri sebagai pelindung, bukan penguasa semesta.
(***)