RIAU24.COM -Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Jenderal Soedirman, Manunggal K Wardaya, menegaskan bahwa pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bisa dilakukan tanpa harus melibatkan Presiden Prabowo Subianto.
Menurutnya, anggapan bahwa keduanya harus dimakzulkan secara bersamaan karena terpilih sebagai satu paket dalam Pilpres adalah keliru secara konstitusional.
“Dalam UUD 1945 disebutkan ‘presiden dan/atau wakil presiden’. Artinya, mekanisme pemakzulan bisa dikenakan secara terpisah,” ujar Manunggal, Senin (9/6/2025).
Ia menekankan bahwa paket hanya berlaku dalam pemilihan umum, bukan dalam hal pemberhentian jabatan.
“Jadi tak ada dasar konstitusional yang mewajibkan keduanya dimakzulkan bersamaan,” tambahnya.
Pernyataan ini merespons komentar Presiden Joko Widodo yang menyebut pasangan presiden dan wakil presiden sebagai satu kesatuan saat ditanya mengenai isu pemakzulan putranya.
Jokowi menyebut pemakzulan sebagai bagian dari dinamika demokrasi dan menekankan bahwa semua proses harus berjalan sesuai sistem ketatanegaraan.
Namun, pengamat politik Rocky Gerung juga berpendapat bahwa status “sepaket” dalam pilpres tidak serta-merta berlaku dalam proses pemakzulan.
Meski mengakui bahwa jalur pemakzulan terhadap seorang wakil presiden sangat panjang dan kompleks, Rocky menilai tidak ada ketentuan yang menyatakan presiden otomatis ikut dimakzulkan jika wakilnya bermasalah.
“Secara hukum dan politik memang sulit, tetapi tidak ada keharusan bahwa pemakzulan terhadap wakil presiden harus menyeret presidennya juga,” kata Rocky dalam kanal YouTube miliknya, Rabu (4/6/2025).
Rocky bahkan menyebut keberatan prosedural semacam itu bisa diselesaikan secara teknis di Mahkamah Konstitusi dan forum-forum kenegaraan lainnya.
“Ini hanya soal tafsir dan keberanian politik,” ujarnya.
Dengan demikian, isu pemakzulan Gibran yang kini mulai bergulir di ruang publik tetap berpotensi berjalan, meski harus melalui proses hukum dan politik yang panjang dan rumit.
Sebelumnya, Pengamat politik Rocky Gerung menyoroti intensnya pertemuan Presiden RI Prabowo Subianto dengan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri.
Sebagai informasi, Prabowo bertemu langsung dengan Megawati dalam Peringatan Hari Lahir Pancasila di Gedung Pancasila, Kompleks Kantor Kementerian Luar Negeri RI, Jakarta Pusat, Senin (2/6/2025).
Sebelumnya, keduanya telah melakukan pertemuan di di kediaman Megawati di Jalan Teuku Umar, Menteng, Jakarta Pusat, pada 7 April 2025 lalu.
Ini artinya, Prabowo dan Megawati sudah tatap muka dua kali dalam kurun waktu satu bulan.
Pertemuan ini menjadi sorotan, lantaran selama ini beredar anggapan bahwa Prabowo lebih dekat dengan Mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) ketimbang presiden kelima RI tersebut.
Setelah momen di Peringatan Hari Lahir Pancasila pekan lalu, Prabowo dan Megawati juga saling berkirim pesan rahasia.
Pesan disampaikan melalui Wakil Ketua DPR RI Sufmi Dasco Ahmad dan Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi ketika menyambangi kediaman Megawati beberapa waktu lalu.
Dasco yang juga Ketua Harian Partai Gerindra mengaku, silaturahminya ke rumah Megawati diutus oleh Prabowo sekaligus untuk menyampaikan pesan.
Sementara, Megawati juga menyampaikan pesan yang bersifat rahasia untuk Prabowo melalui Sufmi Dasco Ahmad dan Prasetyo Hadi.
Terkait pertemuan Prabowo dan Mega, Rocky Gerung menilai ada dua urgensi yang bisa dilihat.
Yakni, menanti sinyal PDIP untuk mendekat ke koalisi dan persiapan pemakzulan Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka.
Hal ini dia sampaikan dalam tayangan video yang diunggah di kanal YouTube Rocky Gerung Official, Sabtu (7/66/2025).
"Ya, kita harus cari kata kunci untuk membuka misteri dari isu-isu politik hari-hari ini. Terutama soal pertemuan Ibu Mega dengan Pak Prabowo di acara peringatan Hari Pancasila. Lalu disusul urgensi bertemunya Gerindra dengan PDIP itu," kata Rocky.
"Kalau kita lihat urgensinya setelah pertemuan dengan Ibu Mega 2 Juni itu lalu disusul pertemuan antara tim Presiden Prabowo dan Ibu Mega. Kita bisa sinopsiskan bahwa rentetan peristiwa itu ada tujuannya. Satu tindakan purposif," tambahnya.
"Apakah itu tujuannya untuk membujuk Ibu Mega untuk masuk kabinet, atau untuk mempersiapkan satu keadaan dinamika baru menghadapi tuntutan kalangan purnawirawan yang menginginkan pemakzulan Gibran," jelasnya.
Rocky Gerung pun memaparkan, tuntutan Forum Purnawirawan TNI untuk memakzulkan Gibran merepresentasikan pemikiran masyarakat.
"Kendati itu hanya purnawirawan, tetapi para purnawirawan ini mewakili back mind, alam pikiran dari masyarakat terutama masyarakat sipil untuk memakzulkan Gibran," ujar Rocky.
Selanjutnya, mantan Dosen Filsafat di Universitas Indonesia (UI) ini menerangkan, Prabowo ingin mendapat legitimasi.
Sebab, PDIP selaku partai yang diketuai Megawati belum memberikan sinyal untuk berkoalisi dengan Partai Gerindra.
"Konsentrasi pertama adalah keinginan Prabowo untuk memperoleh legitimasi. Setelah sudah lebih dari 100 hari, PDIP masih belum memberi semacam sinyal untuk bergabung dengan Gerindra," katanya.
Namun, Rocky Gerung juga menilai, setelah pertemuan Prabowo dengan Mega, ada pertimbangan, mana yang lebih mendesak; reshuffle kabinet tetapi menunggu sinyal PDIP, atau pemakzulan Gibran.
"Yang kedua adalah mana yang lebih urgent, soal reshuffle kabinet yang menunggu semacam sinyal dari PDIP atau soal pemakzulan Gibran yang sudah betul-betul menjadi bara di dalam pembicaraan politik Indonesia," paparnya.
Rangkaian pertemuan Mega dan Prabowo yang berlanjut pada saling titip pesan ini, menurut Rocky, mengarah ke penantian kepastian PDIP bergabung dengan pemerintah atau mencopot Gibran dari kursi wakil presiden RI.
"Jadi, kita mencoba lihat sebetulnya atau apa yang bisa kita pastikan dari sekuensis peristiwa-peristiwa yang mengarah pada dua hal tadi ya," jelas Rocky.
"Pertama adalah kepastian apakah PDIP akan bergabung dengan Gerindra. Yang kedua adalah kemungkinan secara sosiologis atau bahkan secara konstitusional untuk memakzulkan Gibran," tandasnya.
(***)