RIAU24.COM - Budaya kerja di Jepang yang kaku dan penuh tekanan telah menciptakan fenomena tragis, dikenal sebagai karoshi, atau kematian akibat lembur. Istilah ini menggambarkan kondisi saat karyawan meninggal karena beban kerja berlebih, baik akibat gagal jantung, stroke, maupun bunuh diri.
Salah satu kasus paling dikenal adalah Miwa Sado, jurnalis NHK, yang meninggal di usia 31 tahun pada 2013 setelah mencatat 159 jam lembur dalam satu bulan.
Meskipun NHK kemudian menerapkan aturan baru, seperti keharusan izin bekerja setelah pukul 10 malam atau pada hari libur, kasus serupa kembali terjadi pada 2019, menandakan bahwa perubahan masih lambat.
Perusahaan seperti NHK kini mewajibkan konsultasi kesehatan bagi pegawai yang kelebihan beban kerja, tetapi hal ini belum cukup untuk mengatasi akar permasalahan budaya kerja Jepang yakni loyalitas ekstrem, lembur tanpa kompensasi, dan tekanan untuk tetap bekerja meski sudah melewati batas kewajaran.
Istilah seperti 'shachiku', yang berarti 'ternak perusahaan' atau 'budak upah', mencerminkan bagaimana para pekerja merasa kehilangan kendali atas hidup mereka. Banyak yang bekerja dari pagi hingga dini hari, tidur di kantor, dan tidak menerima bayaran lembur, praktik umum di perusahaan yang disebut sebagai 'black company'.
Karoshi bukan hanya isu ketenagakerjaan, tapi juga masalah kesehatan masyarakat dan demografi. Tekanan kerja berlebih membuat generasi muda enggan menikah atau berkeluarga, yang turut memperburuk krisis kelahiran di Jepang.
Bahkan, untuk mengundurkan diri di perusahaan Jepang pun relatif sulit. Walhasil, jasa mengurus pengunduran diri di Negeri Sakura kian populer
Ramai-ramai Pakai Jasa Resign
Yuujin Watanabe, 24 tahun, menjadi salah satu orang yang menjalani pekerjaan tidak biasa sebagai konsultan pengunduran diri.
Bekerja untuk Momuri, sebuah agensi pengunduran diri yang didirikan pada 2022, ia membantu klien keluar dari pekerjaan mereka ketika mereka merasa terlalu takut atau terintimidasi untuk melakukannya sendiri.
Bagi banyak pekerja Jepang, mengundurkan diri tidak sesederhana mengajukan surat pemberitahuan. Karena takut mendapat reaksi keras dari atasan, penolakan dari rekan kerja, serta norma kerja yang kaku, meninggalkan pekerjaan bisa menjadi hal yang sangat menegangkan, bahkan nyaris mustahil.
Watanabe telah menyaksikan sendiri betapa sulitnya hal ini. Beberapa karyawan terus didesak untuk bertahan, sementara yang lain menemukan surat pengunduran diri mereka diabaikan atau bahkan disobek.
"Saat menghubungi perusahaan terkait pengunduran diri, kami kadang mendapat kata-kata kasar dari pihak manajemen," katanya, seraya menambahkan bahwa komentar-komentar tersebut bisa mendekati bentuk pelecehan verbal. "Dalam situasi seperti itu, beberapa orang merasa terganggu secara mental, bahkan putus asa," jelas dia, dikutip dari CNA.
Kenaikan jumlah agensi pengunduran diri, yang mulai muncul sekitar 2017, menyingkap sisi gelap budaya kerja Jepang, tempat kerja yang sangat hierarkis kerap memberi kekuasaan yang tidak seimbang kepada atasan, jam kerja panjang dan lembur tak dibayar menjadi hal yang umum, bahkan diharapkan.
Mengambil cuti juga sulit. Rata-rata, pekerja sektor swasta hanya mengambil 62 persen dari jatah cuti mereka, menurut survei pemerintah tahun 2023.
Meski reformasi telah dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, perubahan tetap lambat. Akibatnya, bisnis agensi pengunduran diri terus berkembang pesat, terutama setelah pandemi.
"Awalnya kami hanya menerima beberapa lusin permintaan per bulan. Tapi sekarang kami mendapat lebih dari 1.800 permintaan per bulan," kata pendiri Momuri, Shinji Tanimoto, 35 tahun.
Selain berdampak pada kesehatan fisik dan mental pekerja, budaya kerja Jepang juga memperparah krisis demografi. Kelelahan kerja sering disebut sebagai salah satu alasan rendahnya angka kelahiran, karena pekerja nyaris tak memiliki waktu untuk kehidupan keluarga.
Kekurangan tenaga kerja di Jepang pada tahun lalu diperkirakan mencapai 251.000 orang, dan angka ini diperkirakan akan melonjak menjadi 11 juta pada 2040, menurut lembaga riset independen Recruit Works Institute.
Meskipun beberapa perusahaan mulai terbuka terhadap perubahan, banyak yang belum.
"Itulah kenapa saya pikir masih banyak orang yang memilih menggunakan jasa agensi pengunduran diri," ujar Tanimoto.***