RIAU24.COM - Melihat cahaya putih dan sensasi keluar dari tubuh (out of body experience) merupakan hal-hal 'mistis' yang kerap dianggap sebagai pertanda menjelang kematian. Hal ini memang terkesan mistis. Namun, studi terbaru menunjukkan tampaknya ada alasan biologis yang dapat menjelaskan fenomena-fenomena tersebut.
Sebuah studi yang dipublikasikan di Nature Reviews Neurology menganalisa tentang pengalaman yang mungkin dialami seseorang saat mendekati ajal. Misalnya, melihat cahaya putih atau sensasi keluar dari tubuh yang dialami sebagian pengidap serangan jantung.
Peneliti menggambarkan pengalaman mendekati kematian (near death experience/NDE) sebagai episode 'kesadaran terputus' yang terjadi saat menghadapi ancaman fisik aktual atau potensial. Mereka kemudian meninjau literatur ilmiah mengenai dasar psikologis dan neurologis dari pengalaman tersebut, dan menggabungkan teori-teori yang telah disarankan sebelumnya menjadi sebuah model komprehensif.
Model yang dijuluki 'Teori Psikologi Evolusioner Neurofisiologis untuk Memahami Pengalaman Mendekati Kematian' ini menunjukkan bahwa pengalaman mendekati kematian dimulai ketika kadar oksigen menurun di otak, sementara konsentrasi karbon dioksida meningkat.
"Hal ini mengakibatkan terjadinya asidosis serebral, yang kemudian memicu reaksi berantai dan menyebabkan peningkatan rangsangan saraf di wilayah otak utama, termasuk persimpangan temporoparietal dan lobus oksipital, disertai dengan pelepasan neurotransmiter endogen secara besar-besaran," tulis para peneliti dalam jurnal mereka, dikutip dari IFL Science, Minggu (6/4/2025).
Misalnya, peningkatan sinyal serotonin mungkin bertanggung jawab atas 'halusinasi visual yang nyata', yang menjadi ciri khas NDE. Sementara, lonjakan kadar endorfin dapat menghasilkan 'perasaan damai yang mendalam'. Para peneliti juga menambahkan banjir dopamin dapat menjelaskan 'perasaan hiperrealitas yang mendalam terkait dengan halusinasi'.
"NDE mungkin merupakan bagian dari mekanisme pertahanan yang dipicu oleh respons neurofisiologis terhadap ancaman ketika respons perilaku fight-or-flight tidak lagi memungkinkan," ungkap para peneliti.
"Seseorang dapat memasuki kondisi disosiasi mental, yang memungkinkan perhatian difokuskan pada fantasi yang berorientasi internal, untuk membantu mereka mengatasi dan bertahan hidup dalam situasi yang mengancam jiwa," tambahnya.
Hal ini dapat menjelaskan mengapa individu tertentu tampak lebih rentan terhadap NDE. Para peneliti mencatat bahwa NDE juga lebih umum terjadi pada orang yang secara khusus cenderung mengalami intrusi REM, di mana aktivitas otak yang terkait dengan mimpi terjadi saat terjaga.
"Ciri khusus ini berpotensi memberikan kontribusi pada fitur-fitur NDE utama, termasuk persepsi cahaya yang tidak biasa, [kehilangan tonus otot normal], euforia, dan sensasi keluar tubuh," tulis para peneliti.
Namun, penulis studi mengaku terlepas dari model yang komprehensif, beberapa pertanyaan tetap belum terjawab. Misalnya, kombinasi proses apa saja yang diperlukan untuk memicu NDE. Model tersebut juga tidak menjelaskan elemen-elemen lain, seperti 'prekognisi' yang membuat mereka yang mengalami NDE memiliki rasa pengetahuan tentang masa depan.