RIAU24.COM - Kejutan di awal tahun 2025 saat Mahkamah Konstitusi (MK) menjatuhkan putusan dengan menghapus syarat ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20%.
Putusan MK presidential threshold dibacakan saat sidang perkara nomor 62/PUU-XXII/2024 tentang Undang-Undang (UU) Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 di Gedung MK, Jakarta, Kamis (2/1).
Presidential threshold dihapus setelah mahkamah menerima gugatan empat mahasiswa Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Mereka adalah Rizki Maulana Syafei, Enika Maya Oktavia, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.
MK menghapus presidential threshold Indonesia karena aturan ini dinilai membuat hak konstitusional pemilih mendapatkan alternatif yang memadai terkait pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menjadi terbatas.
Presidential threshold juga dinilai melahirkan kecenderungan Pemilihan Presiden (Pilpres) diikuti dua pasangan calon (paslon).
“Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK, Suhartoyo, saat membacakan amar putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, dikutip dari Antara, Kamis (2/1).
Lantas, apa itu presidential threshold yang dihapus MK?
Dilansir dari Kompaspedia, Rabu (27/10), presidential threshold adalah syarat minimal persentase kepemilikan kursi di DPR atau raihan suara bagi partai atau gabungan partai untuk mengusung capres dan cawapres.
Penjelasan sederhananya adalah partai atau gabungan partai harus memenuhi jumlah suara tertentu di DPR atau suara sah nasional supaya bisa mengusung capres dan cawapres.
Sebelum dihapus, ketentuan yang mengatur soal presidential threshold dimuat dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pada Pasal 222 disebutkan, capres dan cawapres diusulkan oleh partai atau gabungan partai peserta Pemilu.
Namun, partai harus memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah secara nasional pada Pemilihan Legislatif (Pileg) sebelumnya.