Benarkah Singapura Butuh Pasir Laut dari Indonesia?

R24/zura
Benarkah Singapura Butuh Pasir Laut dari Indonesia? (ilustrasi)
Benarkah Singapura Butuh Pasir Laut dari Indonesia? (ilustrasi)

RIAU24.COM -Pemerintah berencana mengekspor sedimentasi yang disinyalir adalah pasir laut. 

Lokasi pengambilan sedimen dilakukan di tujuh perairan, yaitu; Kabupaten Demak; Kota Surabaya; Kabupaten Cirebon; Kabupaten Indramayu; Kabupaten Karawang; Kabupaten Kutai Kartanegara; Kota Balikpapan; serta Pulau Karimun, Pulau Lingga, dan Pulau Bintan di Provinsi Kepulauan Riau.

Baca Juga: Bocorkan 6 Juta Data NPWP termasuk Milik Jokowi, Pegiat Keamanan Siber: Bjorka Muncul Saat Momen Politik RI Krusial   

Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin menuturkan, rencana pemerintah mengekspor sedimentasi laut kurang kajian ilmiah. 

Alasan ekspor misalnya, pemerintah menyebut lokasi pengerukan sedimentasi dilakukan di perairan yang mengganggu jalur kapal dan aktivitas nelayan. 

Padahal, ujar Parid alasan itu  tidak berdasar karena tujuh perairan yang akan dikeruk adalah laut dalam. "Itu wilayah-wilayah laut dalam," kata Parid. 

Ahli ekologi dari sekolah tinggi perikanan dan kelautan, Romi Hermawan, mengatakan, keuntungan bisnis komoditas tersebut sangat besar. 

Ia memperkirakan Singapura jadi yang paling diuntungkan dalam proyek ini karena negara tersebut terus berupaya memperluas wilayah mereka. 

Sejarah mencatat, Indonesia menjadi pemasok pasir laut terbesar bagi Singapura. 

Namun 20 tahun lalu, ekspor pasir laut dihentikan di era pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. 

Larangan ekspor pasir laut tertuang dalam Surat Keputusan (SK) Menperindag No. 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut

Dalam SK itu disebutkan, alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan. Penghentian ekspor ini menimbulkan krisis bagi negara tersebut.

Setelah 20 tahun dilarang, Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut. 

Aturan tersebut memuat rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan, termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.

Dilansir dari sg101.gov.sg, setiap tahun, Singapura tumbuh lebih besar berkat upaya reklamasi lahan. 

Luas wilayahnya telah bertambah seperlima selama beberapa dekade, dari 581,5 kilometer persegi pada 1960 menjadi 725,7 kilometer persegi pada 2019. 

Negara ini menargetkan untuk mencapai daratan seluas 766 km² pada tahun 2030.

Lahan reklamasi telah menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Singapura. Infrastruktur seperti Bandara Changi, Pelabuhan Tuas, dan Pulau Jurong semuanya dibangun di atas lahan reklamasi laut.

Pasir berperan penting dalam memperluas lahan yang terbatas ini. Dalam proyek reklamasi, awalnya Singapura dapat memperoleh pasir secara lokal. 

Skema Reklamasi Pantai Timur, misalnya, menggunakan tanah dari perbukitan datar di daerah Siglap dan Tampines untuk memperluas lahan di Bedok.

Setelah sumber daya lokal habis, Singapura beralih mengimpor pasir dari luar negeri. 

Baca Juga: Perayaan Ulang Tahun Berujung Maut, Satu dari Tujuh Mayat Kali Bekasi Diidentifikasi   

Menurut laporan keberlanjutan pasir dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2019, negara ini telah menjadi importir pasir terbesar di dunia selama 20 tahun terakhir, dengan perkiraan impor pasir sebesar 517 juta ton dari negara-negara tetangga termasuk Indonesia.

Dikutip dari Reuters, Indonesia pertama kali menghentikan ekspor pasir laut pada tahun 2003 dan menegaskan kembali hal itu pada tahun 2007. 

Hal ini menimbulkan krisis pasokan di Singapura karena 90 persen pasir negara itu berasal dari Indonesia. Total pengiriman lebih dari 53 juta ton rata-rata per tahun antara tahun 1997 hingga 2002.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak