RIAU24.COM - Pengaturan penggunaan pengeras suara di masjid dan musala seperti pembacaan shalawat, tahrim, dan azan dengan suara keras di Cilegon berakhir ricuh.
Kisah ini diberi nama Geger Cilegon atau menurut versi sejarawan DR Sartoko Kardodirjo disebut Pemberontakan Petani Banten pada tahun 1888 dikutip dari republika.co.id dan buku berjudul Perbendaharaan Lama diterbitkan Pustaka Panjimas tahun 1982, karya Buya Hamka.
Semua bermula ketika Cilegon saat itu kedatangan satu pegawai tinggi pemerintah Belanda yang amat terkenal. Dia disebut bermukim di rumah resident Goebels di Jombang Tengah.
Baca Juga: Respons Jokowi soal Sentilan Megawati Terkait Ijazah Palsu: Sebetulnya Saya Sedih!
Tepat di belakang rumahnya ada sebuah langgar bermenara. Setiap waktu Maghrib orang selalu membaca shalawat atau tahrim atau azan dengan suara keras, sehingga selalu mengganggu tidurnya.
Karena sudah tak tahan lagi, dia memerintahkan patih (setingkat gubernur) untuk membuat surat edaran tentang pelarangan salawat, tahrim, dan azan untuk tidak dilakukan keras-keras.
Baca Juga: Suami Najwa Shihab Meninggal Dunia, Alasan Jadi Jarang Terlihat dan Bersuara?
Menurut penyelidikan Tuan Patih, menara langgar di belakang rumah tuan asisten residen itu telah tua, lebih baik diruntuhkan saja. Lalu diperintahkan opas-opas untuk meruntuhannya.
Hal ini membuat satu tokoh ulama setempat, Haji Wasit berang. Apalagi sebelumnya dia sempat terkena hukuman denda sebesar F.7,50 gulden karena menebang pohon kayu keramat yang selama ini dipakai sebagai ajang praktik kemusyrikan oleh sebagian masyarakat.
Tak hanya Haji Wasit, hal serupa membuat jiwa berontak di kalangan rakyat tumbuh lalu membesar dengan hebat kala itu. Karena tidak sepadan, para pemberontak yang terdiri dari petani, kiai, haji, dan guru ngaji ditangkap.
Sebagian dari mereka dihukum manti, dan sebagian lainnya diasingkan ke luar pulau.