RIAU24.COM - Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga, Roy Suryo, kembali melontarkan kritik tajam terkait legalitas pendidikan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam sebuah wawancara yang disiarkan di kanal YouTube Forum Keadilan TV, Roy menegaskan bahwa ada banyak kejanggalan dalam dokumen pendidikan Gibran yang menurutnya harus dibongkar secara terbuka.
“Kalau Pak Subhan punya data, dari dulu saya sudah cermati kelakuan si Fufa ini. Orang ini harus dibongkar,” ujar Roy Suryo mengutip Kanal YouTube @forumkeadilanTV, yang tayang pada Ahad 7 September 2025.
Salah satu hal yang dipersoalkan Roy adalah keluarnya surat penyetaraan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, dengan nomor 9149/D pada tahun 2019.
Surat itu menyatakan Gibran telah menyelesaikan pendidikan grade 12 di UTS Insearch Sydney, Australia, pada 2006.
Roy mempertanyakan mengapa dokumen resmi yang seharusnya terbit pada periode bersangkutan justru muncul lebih dari satu dekade kemudian.
“Kenapa surat tahun 2019 dikeluarkan untuk mengesahkan yang tahun 2006?” tanyanya.
Menurut Roy, jika benar Gibran menyelesaikan pendidikan menengah di luar negeri, dokumen penyetaraan seharusnya segera dibuat saat itu, bukan bertahun-tahun setelahnya.
Roy juga menguraikan riwayat sekolah Gibran yang menurutnya tidak konsisten. Ia menyebut Gibran sempat bersekolah di SMA Santo Yosef Yogyakarta-Solo, kemudian pindah ke SMK Kristen Solo. Dari dua sekolah tersebut, masa pendidikan setingkat SMA sudah memakan waktu empat tahun.
Lebih lanjut, Gibran dikabarkan melanjutkan ke Management Development Institute of Singapore (MDIS), lalu ke University of Technology Sydney (UTS).
Namun, Roy menilai bukti-bukti yang ada justru menimbulkan pertanyaan baru, mulai dari bentuk ijazah hingga proses penyetaraan yang berbeda dari ketentuan.
Isu ini menurut Roy tidak berdiri sendiri. Ia menyebut telah terbentuk Sekretariat Bersama (SEBER) yang menghimpun berbagai kelompok masyarakat sipil.
“Ada sekarang namanya SEBER, sekretariat bersama ya untuk kemudian memadukan semua civil society... tuntutannya jelas dua plus gitu. Yang pertama adalah Adili Jokowi... Yang kedua ya makzulkan fufa atau makzulkan Gibran... plus yang ketiga copot Kapolri,” jelas Roy.
Tuntutan yang mereka suarakan disebut sebagai “2 plus 1”:
1. Adili Presiden Joko Widodo terkait persoalan ijazah dan legalitas pendidikan.
2. Makzulkan Gibran Rakabuming Raka dari jabatan wakil presiden.
3. Copot Kapolri, sebagai bagian dari reformasi institusi hukum dan keamanan.
Roy menekankan bahwa isu ini tidak akan hilang meski di lapangan masyarakat sering dihadapkan pada berbagai isu lain, termasuk kerusuhan dan konflik politik.
Selain pernyataan lisan, Roy bersama sejumlah tokoh menerbitkan sebuah buku yang berisi hasil penelitian mendalam mengenai dokumen pendidikan Presiden Joko Widodo maupun Gibran.
Buku tersebut diklaim berisi data faktual, foto-foto, bahkan tautan digital yang bisa diverifikasi publik.
“Buku ini sangat detail dan faktual. Ada foto-foto, ada link hidup, dokumentasi skripsi tanpa tanda tangan, dan data-data pendidikan yang disengketakan,” jelas Roy.
Menurutnya, publik berhak mengetahui data pendidikan tokoh-tokoh yang menduduki jabatan publik karena menyangkut integritas dan legalitas kepemimpinan.
Roy juga menyinggung kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang pada Agustus lalu mengeluarkan keputusan internal untuk menjadikan data persyaratan pendidikan calon presiden dan wakil presiden sebagai “data pribadi yang dikecualikan”. Ia menilai langkah itu justru menutup transparansi publik.
“Ini konyol sekali. Data pendidikan Jokowi dan Gibran ditutup dengan alasan data pribadi. Padahal mereka pejabat publik,” kata Roy.
Roy Suryo mengingatkan agar masyarakat tidak terjebak pada isu-isu permukaan semata.
Menurutnya, kerusuhan atau konflik politik sering kali dijadikan tirai untuk menutupi persoalan mendasar: kejujuran seorang mantan presiden, legalitas wakil presiden, dan kasus hukum yang belum tuntas.
“Langkah selanjutnya? Fokus pada tiga tuntutan. 2 plus 1. Jangan biarkan kerusuhan jadi tirai yang menutupi pertanyaan pokok di republik ini,” tegas Roy.
(***)