RIAU24.COM - Ketua Dewan Nasional SETARA Institute Hendardi mendesak Presiden RI Prabowo Subianto untuk segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen (TGPF) untuk menginvestigasi tindakan anarkis hingga penjarahan pada pekan terakhir Agustus lalu.
Hendardi mengatakan huru-hara tersebut melahirkan tuntutan baru agar peristiwa sebenarnya dapat diusut tuntas.
Apalagi setelah jatuh korban. Anarkisme terjadi di mana-mana: kantor kepolisian dan fasilitas umum dibakar hingga ada penjarahan properti milik sejumlah anggota DPR dan salah seorang menteri.
Beda spekulasi antara Prabowo dan sejumlah warga mengenai latar belakang huru hara tersebut memerlukan pendalaman lebih lanjut.
"Dibutuhkan klarifikasi dan investigasi mendalam agar rangkaian kerusuhan itu terklarifikasi dengan terang-benderang; siapa dalang, bagaimana operasi berlangsung, apa tujuan politiknya, dan sebagainya. Jika tidak, maka publik akan terus diliputi kecemasan dan ketidakpastian, bahkan akan memantik kemarahan lanjutan eskalasi yang ada," kata Hendardi melalui keterangan tertulis, Minggu (7/9).
"Dalam konteks itu, Presiden Prabowo atau Pemerintah harus segera membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) yang kredibel untuk mengungkap fakta yang sebenarnya, menemukan pola gerakan, dan memisahkan penyampaian aspirasi demokratis dan kebebasan mengemukakan pendapat di muka umum yang dijamin oleh konstitusi negara dari agenda-agenda politik terselubung yang menungganginya," sambungnya.
Hendardi menuturkan setiap warga negara atau publik memiliki hak untuk tahu (rights to know).
Presiden, lanjut dia, mungkin saja sudah memiliki data dan analisis serta telah menyusun langkah-langkah antisipatif lanjutan berkenaan dengan dinamika eskalatif yang terjadi.
Akan tetapi, keterbukaan harus ditunaikan oleh pemerintah dan mekanisme partisipasi bermakna mesti dibuka seluas-luasnya dengan melibatkan para pakar, masyarakat sipil, akademisi, tokoh agama, pekerja media, aparat penegak hukum dan elemen sipil relevan lainnya.
"Oleh karena itu, potensi penanganan yang gebyah uyah atau salah sasaran harus diminimalisasi, bahkan dihentikan. TGPF dapat menjadi dasar untuk memastikan hak untuk tahu masyarakat atas peristiwa itu dan menciptakan rasa aman yang otentik," imbuhnya.
Dia menambahkan pengungkapan data dan fakta merupakan mekanisme cooling down system dari kemarahan publik yang harus berjalan secara simultan dengan agenda-agenda mendasar yang harus dilakukan oleh Pemerintah dan para elite politik.
Hal itu bertujuan untuk memperbaiki tata kelola penyelenggaraan negara yang melahirkan kesenjangan dan jauh dari cita-cita ultima berbangsa dan bernegara Indonesia yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berdasarkan data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), terdapat 3.337 massa aksi di 20 kota ditangkap. Sebanyak 1.042 massa aksi dilarikan ke rumah sakit dan 10 orang meninggal dunia.
Sementara itu, dilansir dari pengaduan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan atau KontraS, hingga 6 September malam masih ada 8 orang yang masih hilang.
(***)