RIAU24.COM -Kontroversi mengenai ijazah Presiden Joko Widodo kembali mencuat. Alih-alih mereda, pernyataan resmi Universitas Gadjah Mada (UGM) justru memantik babak baru yang membuat perdebatan semakin rumit.
Rektor UGM, Ova Emilia, tampil di hadapan publik dengan pernyataan tegas bahwa Jokowi adalah alumni sah Fakultas Kehutanan UGM. Ia menyebut, seluruh proses pendidikan Presiden terdokumentasi dengan baik, mulai dari penerimaan mahasiswa, kuliah sarjana muda, pendidikan sarjana, kuliah kerja nyata (KKN), hingga wisuda pada 19 November 1985.
“UGM memiliki dokumen otentik. Joko Widodo dinyatakan lulus sarjana pada 5 November 1985,” kata Ova.
Namun, pernyataan itu berbenturan dengan dokumen yang ditampilkan Direktorat Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri pada 22 Mei 2025. Dalam dokumen tersebut, Jokowi terdaftar sebagai mahasiswa program sarjana muda, bukan sarjana penuh. Padahal, arsip harian Kedaulatan Rakyat tahun 1980 mencatat nama Jokowi sebagai peserta penerimaan mahasiswa jalur program sarjana.
“Ada inkonsistensi data. Satu sumber menyebut sarjana muda, sumber lain menyebut sarjana. Publik wajar bertanya-tanya,” ujar Dirtipidum Bareskrim saat itu.
Kebingungan semakin bertambah setelah peneliti independen, Roy Suryo, menyoroti transkrip nilai Jokowi. Menurutnya, ada dua versi transkrip berbeda: satu menyebut Jokowi menempuh 122 SKS, sementara dokumen lain menunjukkan tambahan 8 SKS yang tidak sesuai dengan standar Fakultas Kehutanan.
“Ini tidak koheren dengan sistem akademik UGM. Perbedaan SKS seperti ini menimbulkan pertanyaan besar,” kata Roy.
Langkah UGM membela Jokowi juga menuai kritik dari sejumlah akademisi. Menurut pakar hukum tata negara Refly Harun, universitas seharusnya menjaga jarak dari pusaran politik.
“Untuk apa UGM menjadi benteng bagi Jokowi? Biarkan beliau mempertanggungjawabkan dirinya secara pribadi. Jangan universitas ikut terseret,” ucap Refly.
Suara paling lantang datang dari dr. Tifa, peneliti dan aktivis yang sejak awal vokal mengangkat isu ini. Ia menegaskan, perjuangan menyingkap kebenaran memang berisiko, tetapi diam justru lebih berbahaya.
“Apakah saya harus takut terhadap hukuman dunia, lalu diam? Justru yang lebih menakutkan adalah menjadi setan bisu di hadapan kebohongan,” kata Tifa dalam sebuah diskusi.
Ia menambahkan, membungkam para peneliti tidak akan menghentikan gerakan publik.
“Mungkin Roy dan saya dibungkam, tapi akan ada ribuan orang lain yang muncul melanjutkan perjuangan.”
Kini, polemik ijazah Jokowi tidak lagi semata menyangkut keaslian dokumen. Persoalan ini sudah bergeser menjadi pertarungan narasi, menyangkut integritas institusi pendidikan, transparansi pemerintah, dan kepercayaan publik.
Kritik bahkan diarahkan pada cara UGM menyampaikan klarifikasi, termasuk lewat podcast resmi kampus. Menurut peneliti Adil Pasha, gaya komunikasi itu terasa artifisial dan malah menimbulkan cemooh publik.
Alih-alih meredakan keraguan, pernyataan resmi UGM justru membuka lebih banyak pertanyaan. Inkonsistensi antara dokumen Bareskrim, arsip media, dan klarifikasi kampus membuat jalan menuju kebenaran semakin berliku.
Kini, sorotan tidak hanya tertuju pada Presiden Jokowi, tetapi juga pada UGM sebagai institusi yang selama ini dikenal menjaga integritas akademik bangsa.
(***)