Capital Outflow Meningkat, Pemerintahan Prabowo Diuji Soal Kepercayaan Investor

R24/zura
Capital Outflow Meningkat, Pemerintahan Prabowo Diuji Soal Kepercayaan Investor. (Sekretariat Kabinet)
Capital Outflow Meningkat, Pemerintahan Prabowo Diuji Soal Kepercayaan Investor. (Sekretariat Kabinet)

RIAU24.COM - Dalam beberapa minggu terakhir, publik menyaksikan Presiden terpilih Prabowo Subianto melanglang buana ke berbagai penjuru dunia—dari Riyadh hingga Tokyo, dari Berlin hingga Washington. Di balik diplomasi maraton itu, terselip ambisi besar: mengembalikan kepercayaan pasar global, menarik investasi asing, sekaligus mengerek reputasi Indonesia di mata dunia. Namun sayangnya, realitas domestik menunjukkan paradoks. Alih-alih mendatangkan capital inflow, justru terjadi capital outflow yang cukup besar—berkisar 11 hingga 17 triliun rupiah hanya dalam kurun seminggu terakhir.

Bagi investor global, gesture diplomatik tak cukup meyakinkan. Yang dibutuhkan adalah kepastian: hukum yang adil, politik yang tertata, dan kebijakan yang stabil. Dalam konteks ini, persepsi adalah mata uang yang lebih mahal dari sekadar janji dagang. Ketika kasus seperti pemanggilan Tom Lembong oleh Kejaksaan atau kriminalisasi politisi seperti Hasto Kristiyanto masuk ke headline, sinyal negatif pun terpancar. Investor tidak hanya melihat angka, mereka mencium arah angin politik. Dan saat angin itu terasa pengap dan penuh ancaman terhadap kebebasan sipil, maka eksodus modal menjadi rasional.

Fenomena ini tidak berdiri sendiri. Ia bertaut dengan isu-isu laten yang terus membelit politik dan ekonomi nasional. Kasus ijazah Presiden Jokowi yang tak kunjung terang, kemunculan skandal FUFA yang viral, dan kemacetan komunikasi politik di istana—semua itu menjadi residu ketidakpastian. Dalam atmosfer seperti ini, Prabowo dihadapkan pada tugas historis: bukan sekadar melanjutkan estafet kekuasaan, tetapi memulihkan kepercayaan yang terkikis oleh simbol-simbol kekuasaan yang kehilangan legitimasi.

Sementara itu, di dalam negeri, publik menyaksikan gejala ekonomi yang mengkhawatirkan. Harga beras tak kunjung turun, dan laporan tentang ketahanan pangan mulai terdengar genting. Pemerintah menutup data pengangguran, namun realitas sosial berbicara lebih nyaring. PHK meningkat, daya beli menurun, dan mall-mall penuh oleh “Rojali”—rombongan jalan-jalan di pusat perbelanjaan tanpa transaksi. Mereka bukan wisatawan urban, mereka adalah simbol daya beli yang lumpuh.

Dari sisi kelas menengah, situasinya tak kalah suram. Yang dulunya mampu menabung untuk pendidikan anak, kini mulai menarik simpanan demi memenuhi kebutuhan pokok. Mereka hadir di pameran barang mewah bukan untuk membeli, tapi sekadar menyentuh harapan. Istilah “Rohana”—rombongan harap-harap cemas di tengah mall bercahaya—kini menjadi metafora baru krisis konsumsi domestik.

Kondisi ini menjadi tantangan politik yang jauh lebih berat daripada sekadar memperebutkan kursi di kabinet atau mengatur alur kekuasaan. Ia menyentuh dimensi legitimasi yang lebih dalam. Apabila Prabowo gagal menunjukkan “radical break”—sebuah gebrakan drastis yang menyentuh rasa keadilan publik dan menyuguhkan arah baru—maka bukan hanya pasar yang ragu, tetapi juga rakyat yang muak.

Politik, kata Rocky Gerung, bukan soal konsensus palsu, melainkan arena konflik yang sehat. Dalam perspektif ini, pertarungan ide dan kritik terhadap kekuasaan justru adalah fondasi demokrasi. Thomas Paine, penulis Common Sense, mengingatkan bahwa revolusi tak lahir dari keheningan, melainkan dari debat yang memekakkan telinga. Maka dari itu, narasi tunggal kekuasaan yang membungkam suara oposisi justru membunuh legitimasi dari dalam.

Kini, Prabowo punya waktu setahun untuk membuktikan bahwa janji-janji kampanyenya bukan sekadar retorika, tapi visi yang membumi. Ia harus membuka kanal kritik, memperbaiki sistem hukum, dan memberikan sinyal bahwa Indonesia akan dipimpin dengan akal sehat, bukan sekadar loyalitas personal.

Menjelang bulan kemerdekaan di Agustus ini, publik menunggu lebih dari seremoni. Mereka menanti harapan. Sebab harapan—bukan elektabilitas—adalah bahan bakar utama yang menggerakkan bangsa. Dan ketika harapan itu redup, kekuasaan tinggal menunggu waktu.

(***) 

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak