Trump Minta Data Pribadi Warga RI Ditukar dengan Penurunan Tarif Impor: Ini Respons Pemerintah Indonesia

R24/zura
Trump Minta Data Pribadi Warga RI Ditukar dengan Penurunan Tarif Impor: Ini Respons Pemerintah Indonesia.
Trump Minta Data Pribadi Warga RI Ditukar dengan Penurunan Tarif Impor: Ini Respons Pemerintah Indonesia.

RIAU24.COM Pemerintah Amerika Serikat dan Indonesia telah mencapai kesepakatan dagang yang membuka peluang penurunan tarif impor produk Indonesia ke AS. Namun, di balik kesepakatan tersebut, terselip permintaan kontroversial dari Presiden AS Donald Trump: akses atas data pribadi warga negara Indonesia.

Kesepakatan ini diumumkan secara resmi melalui situs Gedung Putih dalam dokumen berjudul "Joint Statement of Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade". Dalam kesepakatan sementara tersebut, tarif impor produk asal Indonesia ke AS diturunkan menjadi 19 persen, dari ancaman tarif sebelumnya sebesar 32 persen. Presiden Trump menyebut bahwa dirinya langsung berbicara dengan Presiden Indonesia Prabowo Subianto sebelum persetujuan dicapai.

Salah satu poin penting dalam pernyataan bersama tersebut adalah komitmen Indonesia untuk memberikan kepastian terkait transfer data pribadi lintas batas. Indonesia dinyatakan bersedia mengizinkan pengiriman data pribadi dari wilayahnya ke AS, dengan jaminan bahwa data tetap dilindungi berdasarkan hukum Indonesia.

“Indonesia berkomitmen untuk mengatasi hambatan yang berdampak pada perdagangan, jasa, dan investasi digital. Indonesia akan memberikan kepastian terkait kemampuan untuk mentransfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat,” demikian kutipan dari pernyataan resmi yang dirilis Gedung Putih.

Dalam dokumen tambahan berjudul "Fact Sheet: The United States and Indonesia Reach Historic Trade Deal", dijelaskan bahwa pemindahan data pribadi tersebut akan dilakukan dengan jaminan bahwa Amerika Serikat diakui sebagai yurisdiksi yang menyediakan perlindungan data yang memadai menurut hukum Indonesia.

Namun, permintaan ini memunculkan perdebatan. Pasalnya, Amerika Serikat belum memiliki undang-undang nasional yang komprehensif terkait perlindungan data pribadi, tidak seperti Uni Eropa yang sudah memberlakukan General Data Protection Regulation (GDPR). Hal ini membuat keabsahan pemindahan data pribadi warga Indonesia ke AS menjadi pertanyaan besar, terutama dalam konteks Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) yang mulai efektif berlaku Oktober 2024.

UU PDP Indonesia mengatur ketat soal transfer data ke luar negeri, sebagaimana tertuang dalam Pasal 56. Dalam pasal tersebut, transfer hanya dapat dilakukan ke negara yang memiliki tingkat perlindungan data pribadi yang setara atau lebih tinggi dari Indonesia. Jika tidak, pengendali data wajib memastikan adanya perlindungan memadai atau memperoleh persetujuan eksplisit dari pemilik data.

Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO), Hasan Nasbi, menjelaskan bahwa kerja sama ini bertujuan murni untuk kelancaran pertukaran barang dan jasa tertentu. Ia menegaskan bahwa pertukaran data dilakukan hanya kepada negara yang memiliki sistem perlindungan data pribadi yang memadai.

"Tujuannya komersial, bukan untuk pengelolaan data warga oleh negara lain. Ini untuk transparansi dalam perdagangan, seperti siapa penjual dan pembeli. Kami hanya bertukar data sesuai UU PDP, dan hanya dengan negara yang diakui bisa melindungi data pribadi," ujar Hasan.

Di sisi lain, Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan pihaknya masih melakukan koordinasi terkait permintaan dari AS tersebut. Ia mengaku belum bisa memberikan keterangan rinci sebelum bertemu dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian.

"Kami diundang untuk berkoordinasi oleh Menko Perekonomian. Saya belum tahu topik pastinya, tapi setelah pertemuan besok mungkin akan ada pernyataan resmi," kata Meutya saat ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, Rabu (23/7).

Selain aspek hukum, isu ini juga menyentuh regulasi penyimpanan data di Indonesia. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, data sektor publik wajib disimpan di server dalam negeri. Sedangkan untuk sektor swasta, masih diperbolehkan menyimpan data di luar negeri, kecuali untuk transaksi keuangan yang diwajibkan berada di Indonesia.

Dengan belum adanya otoritas pelaksana UU PDP, permintaan AS ini menambah tekanan pada pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan kerangka pelaksanaan perlindungan data pribadi. Permintaan akses data dari AS ini juga berpotensi berdampak luas pada operasional perusahaan digital besar seperti Google, Meta, Amazon Web Services (AWS), dan lainnya yang beroperasi di Indonesia.

Dengan latar belakang tersebut, pemerintah Indonesia dihadapkan pada dilema antara membuka akses pasar ekspor dan menjaga kedaulatan serta perlindungan data pribadi warganya. Keputusan final Indonesia terhadap permintaan ini masih menunggu koordinasi lintas kementerian dan evaluasi mendalam terhadap aspek hukum dan kepentingan nasional.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak