RIAU24.COM - Putusan Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara kepada eks Menteri Perdagangan RI 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, dalam kasus dugaan korupsi importasi gula, menuai sorotan dari kalangan akademisi.
Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Indonesia (UI), Hikmahanto Juwana, angkat bicara terkait aspek hukum dalam perkara ini. Ia menilai putusan terhadap Tom Lembong mengabaikan prinsip dasar dalam hukum pidana, yaitu adanya mens rea atau niat jahat.
“Saya bukan ahli hukum pidana, namun sebagai Sarjana Hukum saya terusik dengan putusan hakim dalam kasus Tom Lembong. Vonis dijatuhkan padahal tidak ada mens rea,” kata Hikmahanto dalam pernyataan tertulisnya, Rabu (23/7).
Menurut Hikmahanto, mens rea merupakan elemen penting yang tidak bisa diabaikan dalam penerapan Pasal 2 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Pasal tersebut menyasar perbuatan yang merugikan keuangan negara, dan menurutnya tidak bisa dilepaskan dari adanya niat jahat dari pelaku.
“Pasal 2 UU Tipikor harus mengandung unsur niat jahat. Ini berbeda dengan delik yang bersifat kelalaian seperti Pasal 359 KUHP, yang mempidana akibat dari kelalaian tanpa perlu adanya mens rea,” jelas Hikmahanto.
Ia mencontohkan, dalam konteks hukum pidana, pembunuhan memiliki berbagai pendekatan hukum—dari yang mengandung niat jahat (dolus), hingga yang terjadi karena kelalaian (culpa). Namun, menurutnya, delik korupsi tidak bisa dipersamakan dengan delik kelalaian.
“Pasal 2 Tipikor lebih tepat dipadankan dengan Pasal 362 KUHP tentang pencurian. Dalam pencurian, mens rea wajib ada. Tidak mungkin orang mencuri karena kealpaan,” tegasnya.
Ia juga menyoroti tidak adanya frasa “dengan sengaja” dalam Pasal 2 UU Tipikor maupun Pasal 362 KUHP. Namun, menurutnya, absennya frasa tersebut bukan berarti mens rea tidak diperlukan, justru mengandaikan bahwa unsur niat jahat sudah melekat secara implisit.
“Kalau ‘dengan sengaja’ disebutkan, maka harus ada ketentuan pidana untuk perbuatan yang dilakukan karena kealpaan. Tapi dalam korupsi, tidak mungkin terjadi karena kealpaan,” ujarnya.
Atas dasar itu, Hikmahanto mempertanyakan dasar Majelis Hakim dalam memutus perkara ini, terutama karena tidak ditemukan niat jahat dalam tindakan Tom Lembong.
“Tidak heran bila banyak pihak mempertanyakan, bagaimana mungkin tanpa adanya mens rea, Tom Lembong bisa dijatuhi hukuman penjara berdasarkan Pasal 2 UU Tipikor,” pungkasnya.
Memori Banding Soroti Unsur Niat Jahat
Sementara itu, pihak Tom Lembong telah resmi mengajukan banding atas putusan tersebut. Salah satu poin utama dalam memori banding adalah absennya mens rea dalam perkara yang menjerat klien mereka.
“Contoh paling utama adalah tidak adanya niat jahat. Tapi dalam putusan, Pak Tom disebut melakukan tindak pidana secara bersama-sama. Bagaimana mungkin pidana terjadi tanpa niat jahat?” ujar kuasa hukum Tom, Zaid Mushafi, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Selasa (22/7).
Zaid juga menegaskan, tidak ada bukti bahwa Tom Lembong menikmati hasil dari dugaan korupsi yang terjadi. Hal ini menurutnya menjadi argumen kuat bahwa kliennya tidak memiliki motif atau niat jahat dalam kebijakan yang diambilnya semasa menjabat Menteri Perdagangan.
Hingga kini, proses banding masih berjalan di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Putusan banding akan menjadi ujian penting dalam menilai kembali penerapan asas mens rea dalam kasus-kasus korupsi di Indonesia.
(***)