RIAU24.COM - Ketegangan politik dan hukum di Indonesia terus menghangat. Nama-nama besar kembali menjadi sorotan: Hasto Kristiyanto, Sekjen PDIP yang kini menghadapi kasus hukum, dan Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo, yang juga baru-baru ini divonis dalam kasus korupsi terkait impor gula.
Dalam sebuah wawancara publik yang disiarkan di YouTube, Prof. Mahfud MD, mantan Menkopolhukam sekaligus guru besar hukum tata negara, mengupas tuntas dinamika hukum yang melibatkan kedua figur ini. Menurutnya, ada pola yang sama dalam tuntutan, vonis, dan bahkan motif politis di balik proses hukumnya.
Mahfud MD: “Tom Lembong">Vonis Tom Lembong Salah karena Tak Ada Mens Rea”
Dalam pembahasan yang bernuansa santai namun sarat muatan hukum, Mahfud mengkritik vonis terhadap Tom Lembong. Ia menyatakan bahwa vonis itu tidak tepat secara yuridis, karena tidak ditemukan unsur mens rea atau niat jahat, yang merupakan elemen penting dalam tindak pidana korupsi.
“Dia (Tom Lembong) tidak menerima uang. Tidak memperkaya diri. Tapi korporasi yang diberi lisensi memang diuntungkan. Tapi korupsi tetap butuh niat jahat—mens rea. Dan itu tidak ada,” kata Mahfud.
Ia menilai, putusan itu rawan menjadi preseden buruk: bahwa pejabat negara bisa divonis meski tidak berniat jahat, hanya karena ada kebijakan yang kemudian menguntungkan pihak ketiga.
Strategi Jaksa: Tuntut Tinggi, Vonis Ringan?
Menariknya, jaksa dalam kasus Tom menuntut 7 tahun penjara. Mahfud menjelaskan bahwa ini bisa menjadi strategi untuk mendorong vonis minimum.
Menurut UU Tindak Pidana Korupsi, vonis paling ringan adalah 4 tahun penjara. Maka, dengan tuntutan 7 tahun, hakim sering kali akan memutus 2/3-nya, yakni sekitar 4-5 tahun.
“Kalau buktinya lemah, jaksa tetap harus menuntut. Karena kalau sampai bebas, dia dianggap gagal,” jelas Mahfud. “Jadi tuntutan tinggi itu bisa jadi kamuflase agar vonis jatuh di level minimum.”
Kasus Hasto: Apakah Akan Bernasib Sama?
Dalam video itu, Mahfud tak segan mengaitkan pola yang sama pada kasus Hasto Kristiyanto. Ia memperkirakan bahwa jika jaksa juga menggunakan strategi serupa—tuntutan tinggi tapi bukti lemah—maka Hasto kemungkinan hanya akan menerima vonis ringan, atau bahkan dibebaskan jika mens rea-nya tidak terbukti.
“Dugaan saya mirip. Kalau bukti dan niatnya lemah, jaksa bisa arahkan ke vonis minimal. Karena bebas itu berat secara politis,” ujarnya.
Dimensi Politik: PDIP vs Jokowi?
Mahfud tak menampik bahwa kasus-kasus seperti ini tak lepas dari ketegangan politik yang lebih luas. Terutama relasi antara PDIP dan Presiden Jokowi, yang disebut-sebut memanas sejak Pemilu 2024. Banyak pengamat menilai bahwa munculnya kembali kasus Hasto, yang sebelumnya lama tak bergerak di KPK, mengindikasikan adanya permainan kekuasaan.
“KPK sebenarnya sudah tahu soal ini sejak 2020. Tapi baru sekarang bergerak. Padahal kasus lain yang lebih besar justru belum digarap,” ujar Mahfud. “Ini bukan kriminalisasi. Tapi bisa disebut politisasi proses hukum.”
Prabowo & Sinyal Keberanian Baru Kejaksaan
Tak hanya soal PDIP dan Jokowi, Mahfud juga menyinggung nama besar lain: Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia menyebut bahwa ada gejala keberanian baru di Kejaksaan, yang bisa jadi muncul karena sinyal dari Prabowo—misalnya melalui kebijakan pengamanan jaksa oleh TNI yang kontroversial.
“Secara hukum, pengamanan jaksa itu tugas polisi. Tapi sekarang bisa lewat TNI. Itu kebijakan yang melanggar undang-undang. Tapi mungkin untuk kasih sinyal: Kejaksaan jangan takut,” terang Mahfud.
Ia menilai perubahan ini menunjukkan adanya dukungan kekuasaan agar institusi hukum lebih berani, terutama terhadap sosok-sosok yang sebelumnya dianggap “untouchable”.
Pemakzulan, Ijazah, dan Pembubaran MK?
Wawancara juga menyentuh isu sensitif seperti pemakzulan presiden, keabsahan ijazah Jokowi, serta wacana pembubaran Mahkamah Konstitusi. Namun Mahfud menyatakan bahwa sebagian besar isu ini bersifat politik tinggi, dan secara hukum sulit terwujud.
“Secara hukum bisa, tapi secara politik berat. Misalnya, pemakzulan harus diajukan oleh sepertiga DPR, lalu disidangkan oleh 2/3 anggota. Sulit dicapai dalam realita politik saat ini,” jelas Mahfud.
Kesimpulan: Hukum dalam Pusaran Politik
Dari kasus Tom Lembong hingga Hasto Kristiyanto, Mahfud MD menggarisbawahi bahwa hukum Indonesia saat ini tengah berada di titik rawan politisasi. Jaksa dituntut bekerja di bawah tekanan publik dan elite, sementara hakim kerap dilematis antara fakta hukum dan ekspektasi politik.
“Kalau vonis dibuat tanpa mens rea, besok-besok semua pejabat bisa dipidana karena keputusan administratif saja. Ini bahaya,” tutup Mahfud.
Kasus Hasto bisa jadi ujian besar berikutnya: apakah sistem hukum Indonesia akan berdiri di atas fakta dan prinsip keadilan? Atau kembali menjadi instrumen tarik-menarik kekuasaan?
Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (TIpikor) Jakarta menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan denda Ro 750 miliar subsidair enam bulan kurungan kepada Menteri Perdagangan Era Presiden Joko Widodo (Jokowi), Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Padahal, dalam putusannya, majelis hakim juga menyatakan bahwa Tom Lembong tidak menikmati hasil korupsi dari kebijakan importasi gula di Kementerian Perdagangan (Kemendag) tahun 2015-2016. Tom Lembong divonis bersalah terkait kebijakan importasi gula yang menyebabkan negara mengalami kerugian sebesar Rp 194.718.181.818,19 atau Rp 194,7 miliar.
"Menjatuhkan pidana kepada terdakwa, Thomas Trikasih Lembong, oleh karena itu dengan pidana penjara selama 4 tahun dan 6 bulan," kata Ketua Majelis Hakim Dennie Arsan Fatrika saat membacakan amar putusan dalam sidang di Pengadilan Tipikor, Jakarta pada 18 Juli 2025.
Putusan terhadap tersebut menimbulkan pro dan kontra. Pasalnya, dinilai tidak ada mens rea atau niat jahat dari Tom Lembong.
Salah satu pendapat tidak ada niat jahat dari perbuatan Tom Lembong, datang dari Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Mahfud MD.
Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) ini menyebut, seseorang dapat dijerat sebagai tersangka kasus korupsi apabila memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara. Oleh karenanya, menurut Mahfud, Tom Lembong masih bisa ditersangkakan jika memperkaya orang lain atau korporasi.
Namun, setelah mengikuti jalannya persidangan, Mantan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) ini menyatakan bahwa hakim telah melakukan kesalahan dengan menjatuhkan hukuman pidana terhadap Tom Lembong Sebab, Mahfud mengatakan, sepanjang persidangan tidak ditemukan niat jahat atau mens rea dalam perbuatan Tom Lembong.
Kemudian, Mahfud menilai, kebijakan importasi gula yang dilakukan Tom Lembong hanyalah melaksanakan tugas.
Lantas, Apa Pertimbangan Hakim Menghukum Tom Lembong?
Dalam pertimbangan hukumnya, Majelis Hakim Pengadilan Tipikor menyatakan bahwa Tom Lembong bersalah dan telah melakukan tindak pidana korupsi seperti yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Majelis hakim menyatakan, unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara terbukti. Hakim menyebut, fakta persidangan mengungkap kebijakan impor gula kristal mentah (GKM) oleh Tom Lembong melanggar ketentuan Undang-Undang tentang Perdagangan dan bertentangan dengan Peraturan Menteri Perindustrian.
Salah satunya adalah penerbitan surat pengakuan sebagai importir GKM kepada PT Angels Products dengan jumlah kuota impor sebanyak 105 ribu ton pada 12 Oktober 2015.
Padahal, hakim menyebut, berdasarkan hasil rapat koordinasi perekonomian tanggal 2 Mei 2015, stok gula masih cukup sehingga tidak perlu melakukan impor.
Pasalnya, dalam peraturan tersebut diatur bahwa persetujuan impor (PI) hanya boleh diberikan kepada perusahaan BUMN. Hakim juga menilai, kebijakan impor GKM itu juga tidak sesuai dengan Keputusan Menteri Perdagangan dan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 117 yang mengatur impor gula. Oleh karenanya, majelis hakim menyimpulkan bahwa perbuatan Tom Lembong menerbitkan persetujuan impor GKM itu dilakukan secara melawan hukum.
Selain itu, hakim mempertimbangkan temuan dalam audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait importasi gula tahun 2016 hingga semester pertama 2017.
Apakah Tom Lembong Terbukti Rugikan Keuangan Negara?
Setelah unsur melawan hukum, hakim mengatakan, kebijakan importasi gula tersebut terbukti menyebabkan kerugian keuangan negara sebesar Rp 194.718.181.818,19, meskipun Tom Lembong juga disebut tidak menikmati hasil korupsi itu.
Perhitungan keuangan negara tersebut berasal dari selisih pembayaran bea masuk dan Pajak Dalam Rangka Impor (PDRI) gula kristal mentah (GKM) dan gula kristal putih (GKP).
Selain itu, hakim mengungkap ada kemahalan pembayaran PT PPI kepada sejumlah perusahaan gula swasta dalam pengadaan gula kristal putih (GKP) atau gula pasir yang dibeli di atas harga pokok penjualan (HPP) petani. Dari pabrik swasta itu, PT PPI membeli GKP senilai Rp 9.000 per kilogram, sementara HPP saat itu adalah Rp 8.900 per kilogram.
Sebelumnya, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah menerima permohonan banding dari mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong, terkait kasus korupsi importasi gula.
Permohonan banding diajukan pada Selasa, 22 Juli 2025, melalui kuasa hukumnya, Rifkho Achmad Bawazir. Setelah berkas banding rampung, proses selanjutnya akan dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Jakarta untuk disidangkan di tingkat banding.
Dengan adanya pengajuan tersebut, maka putusan nomor 34/Pid.Sus-TPK/2025/PN.Jkt.Pst belum memiliki kekuatan hukum tetap. Status hukum Tom Lembong pun masih sebagai terdakwa.
(***)