RIAU24.COM -Pengamat politik Rocky Gerung memantik wacana baru di panggung nasional dengan mengulas dua skenario potensial terkait kemungkinan pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Dalam sebuah diskusi podcast, Rocky menyebut bahwa isu pemakzulan bukan lagi persoalan kemungkinan, melainkan strategi dan waktu.
"Bukan soal mungkin, caranya aja yang kita pikirkan kan," ujar Rocky dalam pernyataannya. Ia menilai, keberadaan Gibran dalam pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto semakin menjadi sorotan, terlebih dalam konteks legitimasi publik dan ketahanan politik jangka panjang.
Jalur Konstitusional: Rumit dan Panjang
Rocky menjelaskan bahwa skenario pertama adalah melalui proses konstitusional sesuai Undang-Undang Dasar 1945. Mekanismenya, kata dia, melibatkan tahapan kompleks mulai dari DPR, MPR, hingga Mahkamah Konstitusi (MK).
"Caranya ya melalui mekanisme yang diatur oleh undang-undang, tapi itu panjang. Mesti DPR proses dulu, lalu ke MPR, MPR kirim ke MK, MK buka sidang dengan hukum acara pemakzulan, setelah diputuskan dibalikkan. Sulit kan," jelasnya.
Skenario Tekanan Massa: Jalan Efisien ala Reformasi
Namun demikian, Rocky menilai jalur konstitusional terlalu lambat dan tidak realistis dalam konteks tekanan politik kontemporer. Ia menyebut skenario kedua sebagai pilihan yang “lebih efisien”, yakni melalui tekanan politik besar dari masyarakat sipil, khususnya mahasiswa, seperti yang terjadi pada 1998 saat Presiden Soeharto mundur.
"Kalau kasusnya dibuka, mahasiswa masuk, demo ke DPR... misalnya 1 minggu 4 hari demo masif. Asal polisi jangan larang mahasiswa, itu tinggal bisikin pada Pak Gibran," kata Rocky. Ia bahkan menyebut peran intelijen, kepolisian, dan unsur militer sebagai pihak yang bisa memberi tekanan secara halus kepada Gibran agar mengundurkan diri.
"'Pak Gibran, demonya ini akan berlanjut loh, jadi tinggal pilih mengundurkan diri atau 98'. Gitu-gitu aja kan, lebih efisien," imbuh Rocky.
Gibran Dinilai Sebagai "Beban Politik"
Menurut Rocky, akar dari desakan pemakzulan ini adalah persepsi bahwa Gibran bukan aset strategis bagi Prabowo, melainkan beban politik. Ia mengkritik tajam kapasitas kepemimpinan Gibran, yang menurutnya belum siap menghadapi situasi politik atau keamanan darurat.
“Gibran itu bukan harapan. Justru semua hal yang memungkinkan harapan Presiden untuk mempercepat kemakmuran itu dibatalkan oleh adanya inkapasitas dari Gibran,” tegas Rocky.
Kekhawatiran ini, lanjutnya, juga dirasakan oleh sejumlah purnawirawan militer yang telah lama bergelut dengan dinamika kekuasaan dan stabilitas negara.
“Kalau terjadi kecelakaan politik atau sesuatu yang sifatnya darurat sehingga Indonesia tidak dalam kendali Pak Prabowo, maka mesti ke wakil presiden kan. Nah, masalahnya di situ,” ungkapnya.
Dimensi Politik 2029: Kepentingan Generasi Muda
Rocky juga menyoroti aspek jangka panjang dari isu ini. Ia mengatakan bahwa keinginan untuk memakzulkan Gibran tidak semata datang dari elit politik atau purnawirawan, tetapi juga dari generasi muda yang menginginkan kompetisi politik 2029 yang lebih adil dan terbuka.
“Jadi pemakzulan itu bukan sekedar kepentingan purnawirawan, tapi mereka yang menginginkan ada kompetisi fair,” pungkas Rocky.
Pernyataan Rocky Gerung ini menambah panas perdebatan mengenai posisi Gibran di tengah pemerintahan mendatang dan membuka ruang diskusi lebih luas tentang dinamika kekuasaan pasca Pilpres 2024.
(***)