Asal Usul Istilah 1 Suro dan Tradisi Sakral di Masyarakat Jawa

R24/zura
Asal Usul Istilah 1 Suro dan Tradisi Sakral di Masyarakat Jawa.
Asal Usul Istilah 1 Suro dan Tradisi Sakral di Masyarakat Jawa.

RIAU24.COM -Tradisi malam 1 Suro menjadi satu momen sakral yang dilakukan masyarakat Jawa dalam merayakan awal tahun baru Islam. Satu Suro atau tanggal satu bulan Suro hadir dalam penanggalan Jawa.

Tanggal ini bertepatan dengan satu Muharram dalam kalender Hijriyah. Museum Sonobudoyo Yogyakarta menyebutkan, 1 Suro punya makna besar, lebih dari sekedar angka dalam alamanak.

"Ia adalah bulan suci, penanda babak baru yang diyakini penuh energi spiritual," tulis Museum Sonobudoyo Yogyakarta dikutip Jumat (27/6/2025).

Lalu sebenarnya apa asal-usul istilah Suro? Benarkah berkaitan dengan hal-hal mistis? Cari jawabannya di sini!

Asal Usul Istilah Suro

Bila mencari makna berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata 'suro' punya banyak arti. Setidaknya ada tiga bahasa daerah di Indonesia yang menjelaskan makna suro.

Dalam bahasa Aceh, suro berarti bubu (alat menangkap ikan) kecil yang terbuat dari lidi untuk menangkap ikan gabus. Selanjutnya dalam bahasa Bajau Pondong di Kalimantan Timur, suro berarti kepala kelompok pelayaran atau nelayan yang membawahi 10-20 perahu.

Terakhir, dalam bahasa Makassar suro bermakna utusan yang bertugas melamar di rumah orang tua calon pengantin perempuan. Melihat ketiga makna tersebut, memang tidak ada hubungannya dengan malam 1 Suro sama sekali.

Makna suro dalam malam 1 Suro belum terdefinisikan dalam KBBI. Lalu dari mana istilah itu berasal?

Sri Herminingrum dalam bukunya Kearifan Lokal Masyarakat Tradisional Gunung Kelud menjelaskan ada berbagai tradisi masyarakat Gunung Kelud, Jawa Timur yang dilakukan pada bulan Sura. Kegiatan yang dimaksud seperti labuhan laut, sesaji gunung, bersih desa, merti dusun, opak-opak, hingga ruwatan desa.

Buku itu menjelaskan Suro merupakan bahasa Jawa untuk Sura. Masyarakat Islam di Jawa memaknai suro dari bahasa Arab Asyura yang artinya sepuluh.

Kata sura menunjuk pada arti penting hari pertama tanggal 10 Muharram sebagai awal masuknya bulan Sura dalam sistem penanggalan Jawa. Dari tanggal 10 sampai akhir bulan Sura, masyarakat Jawa menganggapnya sebagai hari-hari sakral.

Sura sering kali dipakai sebagai sebutan lain dari bulan Muharram, berdasarkan kalender Islam. Padahal, sebagian besar masyarakat Jawa selalu menegaskan bahwa Sura berbeda dari Muharram.

"Sasi Sura puniko benten kalih Muharram"

atau artinya:

"Bulan Suro 'Jawa' itu berbeda dari bulan Muharram (sistem kalender hijriah)?"

Bagi masyarkaat Jawa, bulan Sura merupakan bulan agung yang dipercaya sebagai bulan termulia yang dimiliki Gusti Allah. Oleh karena itu, masyarakat tradisional Jawa memilih hari-hari tertentu dalam bulan ini sebagai waktu yang tepat untuk istropeksi diri melalui ritual.

Benarkah Penuh dengan Mistis?

Di Indonesia, malam Satu Suro memang identik dengan mistis. Mengingat bagi beberapa orang Jawa tradisional banyak ritual yang dilakukan pada bulan ini.

Namun, pada dasarnya ritual-ritual ini dilakukan untuk refleksi diri sendiri agar menjadi manusia yang bisa bermanfaat. Kelahiran bulan Suro tak lepas pada masa Kerajaan Mataram Islam.

Sultan Agung Hanyakrakusuma merancang sistem penanggalan Jawa yang menggabungkan unsur Islam dan budaya lokal. Dari sinilah lahir bulan Suro, sebuah bulan untuk diam, merenung, dan membersihkan jiwa.

Pada malam Satu Suro, masyarakat Jawa memiliki tradisi menolak hingar-bingar. Sehingga, pesta dan perayaan besar dianggap tidak patut hadir pada bulan ini.

Banyak tradisi berbeda yang dilakukan masyarakat Jawa pada bulan ini, seperti:

1. Tradisi Kejawen

Menarik diri dari hiruk-pikuk dunia, membersihkan pusaka, berjalan dalam sunyi, menyantap bubur sederhana, dan memohon keselamatan.

2. Tradisi di Keraton Yogyakarta

Di Keraton Yogyakarta, 1 Suro dimulai dengan ritual Jamasan Pusaka di mana tosan aji, kereta, gamelan, dan semua benda sakral dicuci. Ritual ini dimaknai sebagai penghormatan kepada leluhur dan pengingat akan tanggung jawab dalam menjaga warisan.

Malam harinya, ribuan orang berkumpul dalam diam untuk mengikuti Mubeng Beteng. Tradisi Mubeng Benteng adalah proses berjalan mengelilingi benteng keraton tanpa alas kaki dan tanpa mengeluarkan suara sama sekali. Sehingga hanya langkah kaki yang terdengar dalam kesunyiam malam.

Tadisi serupa di lakukan di Pura Pakualaman, yang dinamakan sebagai tradisi Lampah Ratri. Masyarakat mengitari wilayah kadipaten dalam gelap dengan menyatukan niat.

Prosesi ini dilakukan untuk memohon restu dan kekuatan kepada Tuhan dalam mengadapi tahun baru. Di akhir malam yang panjang, masyarakat akan memakan semangkuk bubur suran.

Bubur suran adalah bubur putih gurih manis dengan tujuh jenis kacang. Kacang ini melambangkan hari-hari dalam seminggu.

Memakan bubur suran terselip harapan akan rasa syukur yang tidak pernah putus. Makan bersama menjadi penutup tradisi 1 Suro di Yogyakarta, sederhana tetapi serat makna.

3. Tradisi Ritual Sesaji Gunung Kelud

Masyarakat Desa Sugihwaras di Jawa Timur punya 'Ritual Sesaji Gunung kelud' di bulan Sura. Salah satu kegiatan di ritual itu adalah melakukan introspeksi diri.

Bulan Sura disebut sebagai bulan yang tepat bagi orang Jawa untuk laku prihatin atau berintropeksi terhadap diri sendiri.

Meski penuh dengan larangan seperti jangan keluar rumah saat malam 1 Suro, malam ini penuh tradisi yang menjadi pengingat bagi diri sendiri, terutama untuk terus bersyukur atas nikmat yang diberikan Sang Pencipta.

(***)

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak