RIAU24.COM -Dalam momentum Hari Kebangkitan Nasional dan jelang peringatan Hari Reformasi 1998, filsuf politik Rocky Gerung melontarkan kritik tajam terhadap kondisi demokrasi Indonesia.
Dalam perbincangan bersama Hersubeno Arief di kanal YouTube @RockyGerungOfficial, Rabu 21 Mei 2025, Rocky menilai bahwa slogan "kedaulatan rakyat" kini hanya menjadi retorika kosong. Realitas politik hari ini, menurutnya, menunjukkan bahwa kekuasaan tak lagi berada di tangan rakyat, melainkan di tangan oligarki dan pemilik modal.
“Kekuasaan bukan lagi di tangan rakyat. Hari ini, Ojol sebagai rakyat jelata harus turun ke jalan untuk menuntut kemitraan yang setara dengan korporasi aplikasi,” ujar Rocky.
Ia menyebut bahwa prinsip dasar demokrasi — "Vox populi, vox Dei" — telah kehilangan makna dalam praktik kenegaraan. Demokrasi, kata Rocky, seharusnya tak memerlukan regulasi untuk mendengar suara rakyat. Namun kini, bahkan suara rakyat yang paling murni pun tak lagi menjadi rujukan penguasa.
Lebih jauh, Rocky menyinggung adanya indikasi menguatnya "semi-otoritarianisme" di bawah permukaan sistem demokrasi. Ia mengkhawatirkan masuknya kembali unsur militer ke dalam politik serta lemahnya internalisasi nilai-nilai demokrasi dalam lembaga-lembaga negara.
“Kita punya DPR, tapi bukan sebagai wakil rakyat, melainkan wakil partai. Kita punya Mahkamah Konstitusi, tapi tidak mengalirkan nilai demokrasi. Semua hanya formalitas,” ungkapnya.
Rocky menyebut institusi-institusi seperti Kejaksaan, KPK, Kepolisian, dan Mahkamah Agung, meskipun berdiri secara legal, belum tentu mewakili semangat reformasi.
“Yang terjadi hari ini adalah reformasi yang dibajak oleh kepentingan politik dan transaksi kekuasaan,” tambahnya.
Ia menekankan bahwa semangat reformasi 1998 — yang berlandaskan pada pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) — justru kembali dikubur. Padahal, menurutnya, inilah momentum bagi Presiden Prabowo Subianto untuk membuktikan diri sebagai pemimpin yang otentik dan berjarak dari bayang-bayang pemerintahan sebelumnya.
“Reshuffle kabinet bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban moral. Kalau Presiden Prabowo ingin menghidupkan kembali semangat reformasi, ia harus berani membersihkan kabinet dari kerak-kerak kekuasaan,” kata Rocky.
Beberapa nama menteri yang ia sebut sebagai simbol kegagalan reformasi di era ini termasuk Menteri Kesehatan, Menteri Koperasi, dan Menteri Agama. Rocky bahkan menyebut bahwa publik sudah lama mendesak pemecatan para pejabat yang dianggap tak mampu menerjemahkan ideologi ekonomi presiden dan tidak peka terhadap aspirasi rakyat.
Ia menilai lambannya tindakan Presiden dalam merespons kritik publik sebagai bentuk negosiasi politik dengan partai-partai pengusung. Menurutnya, hal ini membahayakan legitimasi Presiden di mata rakyat dan juga investor asing yang melihat Indonesia sebagai negara dengan iklim politik tak stabil.
“Investor dari Singapura melihat bahwa dinamika politik kita makin tak menentu. Sistem hukum dipakai hanya sebagai alat transaksi, bukan keadilan. Itu sinyal bahwa investor akan enggan masuk,” tegasnya.
Isu reshuffle bukan satu-satunya yang disorot Rocky. Ia juga menyinggung posisi Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang belakangan kembali disorot publik terkait dugaan pelanggaran etika dan rendahnya legitimasi elektoral.
“Hari ini publik tidak lagi peduli pada legalitas prosedural. Mereka peduli pada urgensi. Jika Presiden lamban membaca urgensi ini, maka ia akan terjebak dalam tawar-menawar kekuasaan,” ujarnya.
Rocky menutup dengan menyerukan pentingnya oposisi dari masyarakat sipil — mahasiswa, LSM, dan pers — sebagai kekuatan penyeimbang. Menurutnya, oposisi dari kelompok-kelompok ini lebih murni dibanding oposisi partai yang cenderung transaksional.
“Presiden harus segera bertindak. Jika tidak, ia akan kehilangan kepercayaan dari publik, dan pada akhirnya reformasi yang dulu diperjuangkan akan terkubur di bawah reruntuhan ambisi kekuasaan,” tutup Rocky.
Kini, bola ada di tangan Presiden terpilih. Prabowo Subianto tidak hanya dituntut untuk memimpin, tapi juga untuk menebus janji perubahan yang sejak awal ia gaungkan. Di hadapannya terbentang dua jalan: melanjutkan praktik kekuasaan transaksional yang mewarisi kegagalan rezim sebelumnya, atau membangun ulang fondasi demokrasi dengan keberanian politik yang tak segan membersihkan “kabinet lama”.
Namun waktu terus bergerak. Publik tidak lagi menilai dari pidato atau simbol-simbol populis. Mereka menagih aksi konkret, dimulai dari siapa yang akan duduk di lingkaran inti kekuasaan. Tanpa reshuffle yang berani dan reformasi internal birokrasi, kepercayaan akan menguap. Yang tersisa hanyalah kekuasaan yang legal, tapi kehilangan legitimasi moral.
Rocky Gerung hanya menyuarakan keresahan publik yang lebih luas: bahwa demokrasi Indonesia bukan hanya sedang melemah, tapi perlahan mati, jika elit terus memerankan drama kekuasaan tanpa substansi. Dan bila Presiden baru gagal membaca isyarat ini, maka sejarah akan mencatat: reformasi tak mati karena tekanan, melainkan karena pengkhianatan dari dalam.
(zar)