Rocky Gerung: Prabowo dan Jokowi Saling Intai di Balik Isu Pemakzulan Gibran

R24/zura
Rocky Gerung: Prabowo dan Jokowi Saling Intai di Balik Isu Pemakzulan Gibran.
Rocky Gerung: Prabowo dan Jokowi Saling Intai di Balik Isu Pemakzulan Gibran.

RIAU24.COM - Di tengah menguatnya suara publik terhadap upaya koreksi terhadap kekuasaan Presiden Joko Widodo, filsuf politik Rocky Gerung menyebut bahwa pemakzulan terhadap Wakil Presiden terpilih Gibran Rakabuming Raka bukanlah hal yang mustahil secara politis.

Meski secara konstitusional prosesnya rumit, Rocky menilai dinamika politik Indonesia sangat cair dan kerap tak terduga.

Isu pemakzulan Gibran menguat setelah para purnawirawan TNI—yang sebelumnya cenderung diam—menyuarakan keresahan terhadap proses Pilpres 2024 yang dinilai sarat manipulasi. Namun suara ini segera ditangkis oleh tokoh-tokoh lingkaran dalam Jokowi

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, misalnya, mengecam wacana tersebut sebagai “kampungan”. Bagi Rocky Gerung, reaksi keras semacam itu menunjukkan adanya gesekan nyata di antara dua poros besar kekuasaan saat ini: kubu Jokowi dan poros baru yang dipimpin oleh presiden terpilih Prabowo Subianto.

“Kalau Mahfud MD saja bilang itu bisa secara teoritis, maka jalan politisnya terbuka kalau ada perubahan peta kekuasaan,” kata Rocky dalam perbincangan kanal YouTube-nya.

Ia merujuk pada pernyataan Mahfud, mantan Menko Polhukam dan pakar hukum tata negara, yang menyatakan bahwa secara konstitusi pemakzulan Gibran memang dimungkinkan. Namun Mahfud juga mengingatkan bahwa realitas politik di parlemen membuat hal itu tampak mustahil.

Rocky tidak sepenuhnya sependapat. Ia justru menyoroti bahwa persoalan utamanya bukan pada aspek hukum semata, melainkan pada soal krisis moral dalam kepemimpinan nasional. Ia menyebut bahwa “pemakzulan” tak harus selalu dimaknai sebagai proses hukum formal yang linear, tetapi juga sebagai perlawanan moral terhadap degenerasi kekuasaan.

“Kita sedang berhadapan dengan keadaan di mana kekuasaan kehilangan legitimasi moral. Soal ijazah Jokowi, misalnya, itu bukan sekadar dokumen, itu simbol kebohongan. Publik merasa dikhianati oleh sistem yang mestinya jujur,” tegasnya.

Menurut Rocky, kepercayaan publik pada pemerintahan Jokowi terus merosot. Dan Gibran, sebagai produk dari cawe-cawe kekuasaan Jokowi di Pilpres, dianggap tak memiliki fondasi etis yang kuat untuk menduduki jabatan wakil presiden. Dalam kondisi inilah, kata Rocky, gerakan moral bisa menekan sistem formal untuk membuka pintu pemakzulan.

Ia menyebut bahwa konstitusi sudah menyediakan jalur yang jelas: DPR mengajukan permohonan ke MK untuk menilai pelanggaran, lalu hasilnya diserahkan ke MPR. Namun, dalam praktiknya, yang menentukan bukan pasal-pasal, melainkan kekuatan politik yang bersedia mengambil risiko.

“Apakah partai-partai berani? Itu pertanyaannya. Tapi politik sangat cair. Kalau ada krisis ekonomi, misalnya, sentimen publik bisa berbalik. PDIP bisa mengambil posisi moral sebagai oposisi dan memimpin pemakzulan,” papar Rocky.

Analisis ini menunjukkan bahwa meski saat ini mayoritas partai berada dalam koalisi Prabowo-Gibran, tidak ada jaminan koalisi itu akan solid. Partai seperti Golkar, PAN, bahkan Demokrat, menurut Rocky, sedang menghitung untung rugi. Bila Gibran dijatuhkan, maka jalan untuk kandidat 2029 seperti AHY atau Anies akan terbuka lebih lebar. Politik praktis akan mendorong mereka mempertimbangkan kembali posisi mereka.

Rocky juga mencatat sikap diam Prabowo Subianto dalam merespons wacana pemakzulan ini. Tidak seperti Luhut yang dengan cepat mengecamnya, Prabowo tampak memilih bersikap observatif. 

“Itu strategi. Prabowo sedang menunggu arah angin. Dia tidak akan buru-buru membela Gibran, karena bisa saja nanti justru dia sendiri yang harus mengambil jarak,” ujar Rocky.

Pada akhirnya, Rocky melihat bahwa semua ini adalah bagian dari dinamika pasca-kemenangan yang tak kunjung usai. Pilpres memang selesai, tapi legitimasi kekuasaan belum solid. Kemenangan yang diraih lewat manipulasi akan terus dihantui oleh krisis moral.

“Ini bukan soal politik prosedural semata. Ini soal bagaimana kita menjaga demokrasi tetap bermartabat. Kalau demokrasi kehilangan moral, maka pemakzulan jadi instrumen etis, bukan hanya langkah hukum,” pungkas Rocky.

Dengan tensi politik yang terus meningkat, dan ketidakpuasan publik yang semakin membesar, Rocky meyakini bahwa wacana pemakzulan—betapapun sulit secara hukum—tidak bisa lagi diabaikan. Ini adalah pertarungan antara moralitas publik dan kekuasaan yang kehilangan kompas etik.

Tulisan ini merupakan kiriman dari member Riau24. Isi dan foto artikel ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pengirim.

Tampilkan lebih banyak