RIAU24.COM - KTT G20 di Rio de Janeiro berakhir pada Senin (18 November) dengan para pemimpin gagal menyelesaikan kebuntuan utama dalam negosiasi iklim PBB, karena ketegangan geopolitik, terutama perang di Ukraina dan kembalinya Donald Trump ke kursi kepresidenan AS, membayangi diskusi.
Komitmen iklim goyah
Menjelang KTT, PBB telah menyerukan negara-negara G20 untuk menyelamatkan pembicaraan iklim yang terhenti di Azerbaijan dengan menjanjikan dukungan keuangan yang lebih besar kepada negara-negara berkembang yang bergulat dengan efek buruk pemanasan global.
Namun, tidak ada komitmen konkret, karena anggota G20 tetap terpecah tentang siapa yang harus membayar.
Komunike akhir KTT secara samar-samar menyatakan bahwa pendanaan yang diperlukan akan datang dari semua sumber tanpa menyebutkan kontribusi.
Mick Sheldrick dari Global Citizen mengkritik kelambanan para pemimpin, mencatat, "Para pemimpin menendang kaleng kembali ke Baku".
"Ini mungkin akan mempersulit untuk mencapai kesepakatan," katanya kepada AFP.
Eskalasi perang Ukraina
Perang di Ukraina mendominasi diskusi, karena pergeseran kebijakan kontroversial AS baru-baru ini yang mengizinkan Kyiv untuk menggunakan rudal jarak jauh di wilayah Rusia, berisiko meningkatkan konflik.
Rusia telah memperingatkan tanggapan yang tepat jika wilayahnya menjadi sasaran.
Kembalinya Donald Trump yang akan datang yang dikenal karena kebijakan isolasionisnya ‘America First’ telah menimbulkan ketidakpastian atas diplomasi global.
Ketika Presiden AS Joe Biden menghadiri KTT sebagai pemimpin bebek lumpuh, Presiden China Xi Jinping memposisikan dirinya sebagai kekuatan stabil, menyerukan tidak ada eskalasi perang, dan tidak ada api yang mengipasi api.
Mengatasi ketegangan di Timur Tengah, G20 dalam sebuah pernyataan menyerukan gencatan senjata komprehensif di Gaza dan Lebanon.
Dorongan Brasil untuk keadilan sosial
Presiden Brasil Luiz Inácio Lula da Silva berusaha mengarahkan diskusi untuk memerangi kelaparan dan ketidaksetaraan global.
Dia meluncurkan inti dari kepresidenan G20-nya yaitu Aliansi Global Melawan Kemiskinan dan Kelaparan dengan dukungan 82 negara, dan menetapkan target ambisius untuk memberi makan 500 juta orang pada tahun 2030.
KTT itu juga memajukan janji untuk terlibat secara kooperatif untuk memastikan orang-orang ultra-kaya membayar bagian pajak mereka yang adil.
(***)