RIAU24.COM - Di pinggiran kota London yang rindang, kota kecil Epping menjadi pusat kontroversi ketika protes meletus terkait sebuah hotel yang menampung pencari suaka.
Masalah ini meningkat setelah seorang warga negara Ethiopia ditangkap karena diduga menyerang seorang wanita dan seorang gadis berusia 14 tahun.
Demonstrasi kekerasan yang terjadi kemudian menyebabkan beberapa pria ditangkap, dan empat di antaranya kemudian mengaku bersalah atas tindakan kekerasan.
Peristiwa ini disamakan dengan kerusuhan anti-imigrasi yang penuh kekerasan pada tahun 2024, ketika akomodasi pencari suaka menjadi sasaran.
Orla Minihane, seorang ibu tiga anak dari Epping, menggambarkan protes yang kacau itu sebagai ‘PR disaster.’
Dalam upaya untuk menjauhkan gerakan tersebut dari tuduhan rasisme, ia mengusulkan pendekatan baru untuk protes berikutnya: perempuan harus memimpin, dan mereka harus mengenakan pakaian berwarna merah muda.
Strategi ini dengan cepat diterima, memicu kampanye nasional.
Gerakan ‘Pink Ladies’ pun lahir, dan pesannya jelas: perempuan berada dalam ancaman dari imigran ilegal.
Meskipun tidak secara resmi berafiliasi dengan partai Reform UK, Minihane, yang merupakan wakil ketua partai untuk Epping Forest, mengungkapkan bahwa sebagian besar anggota Pink Ladies kemungkinan akan memilih Reform, sebuah partai yang berfokus pada pengendalian imigrasi dan mengadvokasi deportasi massal.
“Saya ingin menciptakan platform agar perempuan dapat bersuara,” kata Minihane dalam sebuah wawancara dengan CNN.
Kelompok Pink Ladies telah berkembang pesat melalui upaya akar rumput, termasuk kelompok media sosial dan kampanye dari mulut ke mulut.
Minihane menegaskan bahwa daya tarik gerakan ini terletak pada penggambaran para ibu yang peduli, yang bukan rasis atau ekstremis, tetapi hanya khawatir akan keselamatan anak-anak mereka.
Banyak anggota kelompok ini sesuai dengan profil ibu-ibu kulit putih paruh baya pendukung Brexit yang kini frustrasi dengan ketidakmampuan partai-partai besar untuk mengatasi masalah imigrasi secara efektif.
Pada bulan November, sekitar 200 anggota Pink Ladies berkumpul di Chelmsford, mengenakan pakaian serba merah muda, mulai dari ponco hingga baret, untuk memprotes apa yang mereka anggap sebagai ancaman yang semakin meningkat yang ditimbulkan oleh para pencari suaka.
"Kami bukan rasis, kami hanya ibu-ibu yang khawatir," demikian bunyi salah satu plakat.
Pesan-pesan kelompok ini sering kali menggemakan sentimen anti-imigran, menggambarkan Inggris sebagai negara yang ‘diserang’ dan ‘diserbu.’
Namun Minihane menolak klaim apa pun bahwa gerakan tersebut terkait dengan retorika ekstremis.
Namun, beberapa kritikus khawatir tentang nuansa sayap kanan ekstrem dalam gerakan tersebut.
Menurut Andrea Simon, direktur Koalisi Akhiri Kekerasan Terhadap Perempuan, sayap kanan ekstrem telah lama menggunakan isu kekerasan terhadap perempuan untuk memajukan agenda supremasi kulit putih.
Meskipun Minihane dan para pengikutnya bersikeras bahwa fokus mereka adalah pada keselamatan perempuan, hubungan gerakan tersebut dengan politik sayap kanan populis sangat jelas.
Reform UK, yang dipimpin oleh Nigel Farage, telah mendapatkan dukungan, khususnya dari pemilih perempuan, dengan memanfaatkan kekhawatiran tentang keamanan dan krisis imigrasi.
Dalam setahun terakhir, basis pemilih perempuan partai ini telah tumbuh, dan para pemimpin reformasi, seperti Andrea Jenkyns, menjadi lebih menonjol dalam kampanye mereka.
Farage sendiri, yang dikenal dengan citra politiknya yang maskulin, kesulitan mendapatkan dukungan dari perempuan, tetapi tokoh-tokoh seperti Jenkyns dan Pochin membantu mengubah keseimbangan tersebut.
Farage telah mencatat pentingnya menarik perhatian perempuan, bahkan menambahkan frasa ‘GIRL POWER’ ke dalam branding partai.
Aksi protes Pink Ladies dipicu oleh rasa takut, khususnya seputar kasus kekerasan terkait migran, tetapi statistik tidak mendukung klaim kejahatan yang meluas terkait dengan pencari suaka.
Bahkan, tingkat kejahatan secara umum mengalami penurunan.
Meskipun demikian, gerakan ini terus menyoroti ketakutan akan ‘invasi,’ mendesak tindakan drastis untuk menghentikan kedatangan migran.
"Kita butuh tentara," kata seorang demonstran di Chelmsford, menyuarakan tuntutan umum untuk intervensi militer guna mengatasi apa yang mereka gambarkan sebagai krisis.
Meskipun retorika Minihane tentang ‘bencana migran ilegal’ belum didukung oleh data yang jelas, ketakutan para Pink Ladies dan pendukung mereka tetap terasa.
Di mata mereka, kegagalan pemerintah untuk mengatasi masalah migrasi membahayakan perempuan dan anak-anak.
"Kami tidak akan menjadi kambing kurban Anda lagi," kata Minihane selama protes di Chelmsford, menarik garis batas terhadap apa yang dia dan para pendukungnya anggap sebagai kelalaian pemerintah dalam menghadapi ancaman yang semakin meningkat.
(***)