RIAU24.COM -Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) buka suara soal aduan terhadap hakim konstitusi Arsul Sani terkait dugaan ijazah palsu ke Bareskrim Polri.
Ketua MKMK I Gede Dewa Palguna mengaku heran atas laporan tersebut.
Menurutnya, pelapor mestinya bertanya dulu ke DPR RI sebagai lembaga yang melakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) Arsul Sani menjadi hakim MK.
"Saya, dan kami di MKMK, merasa agak ganjil mengapa tiba-tiba ke Bareskrim? Pak Arsul itu hakim konstitusi yang diusulkan oleh DPR. Maka, kalau terdapat dugaan penggunaan ijazah palsu, secara tidak langsung berarti para pelapor meragukan hasil uji kelayakan dan kepatutan yang dilakukan oleh DPR. Begitu bukan?" kata Palguna seperti dikutip dari detik.com, Minggu (16/11).
Palguna pun menyinggung Pasal 20 UU MK yang menyatakan setiap hakim dipilih secara objektif, transparan dan mekanisme pemilihannya bergantung pada lembaga yang mencalonkan.
Karenanya, kata Palguna, seharusnya tudingan soal ijazah palsu Arsul itu lebih dulu ditanyakan ke DPR.
"Karena itu, logisnya, tanya ke DPR dulu dong. Ingat, Pasal 20 UU MK menyatakan, hakim konstitusi dipilih secara objektif, transparan, dan akuntabel dan mekanisme pemilihannya diserahkan kepada masing-masing lembaga negara yang memiliki kewenangan untuk mencalonkan hakim konstitusi (DPR, Presiden, MA)," ucap dia.
Palguna membeberkan MKMK sudah hampir sebulan mendalami isu yang berkembang terkait tudingan ke hakim Arsul Sani.
Namun, Palguna menyebut proses yang dilakukan MKMK belum bisa disampaikan kepada publik untuk menjaga pihak terkait tak diadili pada isu yang belum jelas kebenarannya.
"Dalam kaitan dengan MKMK, sejak isu ini muncul kurang lebih sebulan yang lalu, kami di MKMK sudah mendalaminya. Sebab, tugas MKMK bukan hanya menegakkan kode etik dan pedoman perilaku hakim, tetapi juga menjaga martabat dan kehormatan hakim konstitusi," tutur Palguna.
"Perihal sudah sampai di mana kami bekerja, mohon maaf, hal itu belum dapat kami sebutkan saat ini. Selain karena memang (menurut PMK) hal itu mesti dikerjakan secara tertutup, juga agar hakim konstitusi yang bersangkutan tidak 'diadili' oleh soal atau isu yang belum jelas," sambungnya.
(***)