RIAU24.COM - Ketua Departemen Hukum Persatuan Artis Penyanyi Pencipta Lagu dan Pemusik Republik Indonesia (Pappri), Marcell Siahaan, mengatakan ada kegagalan penerapan norma Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 yang saat ini terjadi.
Hal ini menyebabkan para penyanyi bisa dikriminalisasi meskipun sudah membayar royalti kepada pencipta lagu.
Argumen tersebut diungkapkan Marcell saat menjadi pihak terkait dalam perkara 28/PUU-XXIII/2025 terkait UU Hak Cipta yang diajukan Nazril Irham (Ariel Noah) dan 28 musisi, yang digelar di Gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis (10/7/2025).
"Kami juga perlu menegaskan bahwa saat ini telah terjadi kegagalan dalam penerapan norma hukum hak cipta, khususnya terhadap pelaku pertunjukan akibat keberadaan sejumlah ketentuan yang multitafsir dan diterapkan secara represif," kata Marcell.
Dia menjelaskan, sejumlah pasal dalam undang-undang hak cipta, khususnya yang mengatur penggunaan ciptaan dalam pertunjukan dan mekanisme pembayaran royalti, telah gagal memenuhi unsur kepastian, kemanfaatan, dan keadilan.
"Lalu berikutnya, membuka ruang kriminalisasi meskipun royalti telah dibayar melalui sistem yang resmi," kata Marcell. Dia juga menyebut, pasal-pasal multitafsir di UU Hak Cipta mengaburkan tanggung jawab hukum antara pelaku pertunjukan dan penyelenggara acara.
UU Hak Cipta yang multitafsir, kata Marcell, juga melemahkan otoritas Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang dibentuk dan diakui oleh negara.
Sebagai informasi, Ariel bersama 28 musisi lainnya melakukan uji materi UU Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014.
Ada beragam permintaan Ariel Cs kepada MK yang didasari kasus tuntutan pencipta lagu kepada musisi yang marak terjadi belakangan.
Salah satu permohonan mereka adalah meminta MK membolehkan penyanyi membawakan lagu tanpa izin pencipta lagu, asalkan membayar royalti.
(***)