RIAU24.COM -Dalam acara peringatan Hari Buruh Internasional tahun 2025, Presiden Prabowo Subianto menyatakan dukungannya terhadap usulan agar Marsinah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari kaum buruh.
Menurut Prabowo, nama Marsinah muncul saat dirinya bertanya kepada sejumlah pimpinan serikat buruh dan pekerja.
“Saya tanya, kalian ada saran enggak? Coba kalian berembuk, usulkan pahlawan dari kaum buruh,” kata Prabowo dalam pidatonya pada Hari Buruh 2025 yang digelar di Lapangan Monas, Jakarta, Kamis (1/5/2025).
“Dan mereka sampaikan, ‘Pak, bagaimana kalau Marsinah, Pak?’ Marsinah jadi pahlawan nasional,” ujarnya lagi.
Dalam kesempatan itu, Prabowo pun menyatakan kesiapannya untuk mendukung penuh usulan tersebut, asalkan mendapat kesepakatan luas dari kalangan serikat buruh.
“Asal seluruh pimpinan buruh, mewakili kaum buruh, sepakat, saya akan mendukung Marsinah jadi pahlawan nasional,” kata Prabowo menegaskan.
Lantas, siapa Marsinah dan mengapa selalu menjadi simbol perjuangan dari kaum buruh?
Profil Marsinah
Marsinah adalah buruh wanita asal Nganjuk, Jawa Timur. Dia bekerja sebagai buruh di PT Catur Putra Surya (CPS), sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.
Diberitakan Harian Kompas, 28 Juni 2000, Marsinah lahir pada 10 April 1969. Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya.
Marsinah merupakan anak dari pasangan Astin dan Sumini di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk. Ibu Marsinah meninggal saat dia berusia tiga tahun.
Sehingga, dia diasuh dan dibesarkan oleh neneknya, Paerah, yang tinggal bersama paman dan bibinya, pasangan Suraji-Sini.
Beranjak dewasa, pada tahun 1989, Marsinah hijrah ke Surabaya untuk mencari pekerjaan. Dia sempat menumpang di rumah kakaknya, Marsini.
Dia pertama kali bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut. Tetapi, gajinya jauh dari cukup sehingga untuk memperoleh tambahan penghasilan, Marsinah juga berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.
Hingga akhirnya, Marsinah pindah bekerja di sebuah pabrik arloji di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, bernama PT Catur Putra Surya (CPS).
Dibungkam, Dihilangkan Nyawanya
Saat bekerja di PT CPS itu, Marsinah terkenal vokal terkait kesejahteraan buruh.
Dia bahkan terkenal sebagai aktivis dalam organisasi buruh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) unit kerja PT CPS.
Suaranya yang vokal memperjuangkan nasib buruh membuat Marsinah harus kehilangan nyawanya.
Pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk di Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur.
Namun, hasil forensik menyatakan Marsinah sudah tewas sehari sebelumnya. Kematian Marsinah langsung dikaitkan dengan sikapnya yang vokal untuk menyuarakan nasib para buruh.
Dikutip dari Harian Kompas, 10 November 1993, Marsinah memimpin unjuk rasa kenaikan gaji Rp 1.700 menjadi Rp 2.250 pada 4 Mei 1993.
Namun, karena negosiasi dengan perusahaan tidak menemui titik terang, akhirnya Marsinah dan kawan-kawannya menempuh cara yang lazim dalam gerakan buruh, yakni mogok kerja.
Hingga pada 5 Mei 1993 malam, Marsinah diculik dan disiksa oleh lima orang "algojo" PT CPS.
Selama empat hari Marsinah menghilang, tiba-tiba jasadnya ditemukan pada 9 Mei 1993 dalam kondisi mengenaskan di sebuah gubuk, sekitar 200 meter dari tempatnya bekerja.
Hasil visum menunjukkan bahwa Marsinah disiksa dan diperkosa sebelum dibunuh. Sementara itu, menurut Abdul Mun’im Idries, dokter dari Instalasi Kedokteran Kehakiman (IKK) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, kematian Marsinah karena tembakan senjata api.
Kematian Marsinah yang tidak wajar itu mendapat reaksi keras dari para aktivis dan masyarakat luas. Mereka menuntut pihak aparat keamanan untuk menyelidiki dan mengadili para pelakunya.
(***)