RIAU24.COM - Mantan Perdana Menteri Malaysia, Mahathir Mohamad, menjadi sorotan usai mengatakan bahwa Malaysia seharusnya mengklaim Kepulauan Riau menjadi bagian mereka.
"Kita harusnya tak hanya meminta Pedra Branca dikembalikan, atau Pulau Batu Puteh, kita juga harus meminta Singapura pun Kepulauan Riau, mengingat mereka adalah bagian dari Tanah Melayu [Malaysia]," kata Mahathir pada Minggu (19/6), dikutip The Straits Times.
Baca Juga: Pejabat Brasil Temukan Pekerja China Dalam Kondisi Seperti Perbudakan di Lokasi Konstruksi BYD
Sontak, pernyataan Mantan PM Malaysia berusia 96 tahun itu pun menuai banyak kritik, terutama dari berbagai pihak di Indonesia.
Menurut sejarah, dahulu memang wilayah Melayu meliputi Riau Kepulauan Riau, bahkan Sumatra Barat. Semua wilayah itu berada di bawah Kesultanan Melayu.
Namun, sejarah berubah karena kedatangan bangsa Barat. Belanda mengklaim wilayah yang sekarang disebut Indonesia. Adapun Inggris mengklaim wilayah yang kini bernama Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam.
Menanggapi pernyataan itu, seiumlah pihak melontarkan kritik. Mulai dari pemerintah, pengamat hingga organisasi masyarakat.
Deputi V Kantor Staf Presiden RI, Jaleswari Pramodhawardani, menilai komentar Mahathir salah kaprah. Menurutnya, ada standar kendali efektif dalam menentukan kedaulatan wilayah.
"Hingga detik ini, satu-satunya entitas yang memiliki kendali atas wilayah Provinsi Riau adalah Pemerintah Republik Indonesia," kata Jaleswari melalui keterangan tertulis, Selasa (21/6).
Lebih lanjut ia menerangkan bahwa pemerintah Indonesia menggelar administrasi pemerintahan lewat proses demokratis di Kepulauan Riau, melakukan pencatatan penduduk, penerapan hukum nasional, dan penegakan hukum.
Hal-hal itu merupakan urusan yang hanya bisa dilakukan pemerintahan yang sah.
Kritik juga muncul dari pengamat hubungan internasional dari Universitas Sultan Zainal Abidin di Malaysia, Suyatno Ladiqi. Ia mempertanyakan logika Mahathir yang berargumen soal kedaulatan wilayah sebuah negara hanya berdasarkan sejarah.
Padahal sudah ada hukum internasional yang mengatur batas-batas setiap negara.
"Klaim sejarah boleh saja, sama dengan kita boleh klaim kalau Malaysia dulu bagian dari Majapahit," jelas Suyatno saat dihubungi CNNIndonesia.com pada Selasa (21/6).
Bagi Suyatno, Mahathir sekadar mencari panggung politik mengingat sekarang dia bukan lagi menjadi pemimpin di Malaysia.
"Mahathir sudah kehilangan momentum politiknya jadi pansos [panjat sosial] aja pendapatnya itu. Sengaja dilakukan agar orang melihat dia masih eksis," ujar Suyatno.
Pengamat lain dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ali Mohammad, juga menilai pernyataan Mahathir tak relevan.
"Bila ada politikus yang mengklaim sejarah masa lalu, ya sudah tidak relevan. Misal, dulu Riau itu bagian dari Tanah Melayu, ya betul. Tapi, tu dulu," ujar Ali.
Salah satu organisasi Islan terbesar di Indonesia, Muhammadiyah, juga buka suara.
Baca Juga: Laporan: Pakistan Akan Akuisisi 40 Jet Tempur J-35 Dari China
Ketua Umum Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah Haedar Nashir menyarankan Mahathir berhenti melontar komentar yang bisa memicu ketegangan dengan Indonesia.
"Daripada, membikin pernyataan-pernyataan yang justru menjadi masalah baru dalam hubungan Indonesia dan Malaysia. Cukuplah bagi generasi Indonesia maupun Malaysia, pengalaman di masa lalu yang meninggalkan bekas yang tidak sederhana dalam relasi Indonesia-Malaysia," kata Haedar di Kantor PP Muhammadiyah, Kota Yogyakarta, Selasa (21/6).
Ia juga berharap tokoh-tokoh Indonesia meninggalkan potensi konflik di masa lalu yang dimiliki dua negara ini.
"Untuk kita melangkah ke hal baru, ke masa baru dan ke masa depan yang mewariskan kebersamaan Asean dan bangsa serumpun lebih pada titik temu daripada titik beda, itu pesan saya," tegas Haedar.